
Februari lalu, kami sekeluarga berkesempatan untuk “istirahat”. Lepas dari hiruk pikuk dan segala keriweuhan jadwal kegiatan sekolah, kantor, dan urusan rumah tangga, kami mendapat waktu untuk fokus pada kesehatan diri sendiri, selama 2 minggu. Wah, kenapa ya?
Well, after two years of dodging the ball, eventually we earned our turn. By the mid February, it was confirmed that my husband and I got Covid-19!
Lho, kok bisa? ‘Kan sudah menerapkan protokol kesehatan dengan maksimal?
Protokol Kesehatan di Keluarga Kami
Bicara soal penerapan protokol kesehatan, jujur saya cukup “ekstra”. Di rumah, Bibi adalah ART pulang-pergi (yang artinya beresiko karena yang bersangkutan keluar masuk rumah saya, dan saya tidak tahu di luar rumah bagaimana ‘kan), suami yang ngantor setiap hari, juga tiga anak kecil yang masih harus benar-benar diajari untuk disiplin prokes. Meleng dikit aja mereka cuci tangannya asal-asalan, padahal masih di rumah!
Saya menempelkan beberapa poster tentang protokol kesehatan di spot-spot strategis: area akses masuk rumah, wastafel, kamar mandi, juga sekitar dapur. Tujuannya semata-mata untuk membiasakan warga rumah, apalagi anak-anak agar aware dan disiplin menjalankan protokol kesehatan. Sejak awal pandemi pun anak-anak sudah diberi pengertian, dijelaskan hubungan sebab-akibatnya kenapa harus menjalankan protokol kesehatan dengan benar, apa resikonya jika mereka malas jaga kebersihan dan kesehatan, dll.
Jalan-jalan ke luar rumah pun kami terbatas sekali. Keluar rumah untuk putar-putar di jalan pakai mobil lalu jajan drive thru, bersepeda di kompleks perumahan Bapak Ibu, atau bermain di taman depan masjid kompleks sebelah. Kami tidak pergi ke luar kota, ke tempat wisata, makan di luar, atau nge-mall. Keberanian untuk nge-mall baru terjadi satu kali sekitar Januari akhir/Februari awal. Kami jalan ke Galaxy Mall karena ada keperluan yang harus diselesaikan di sana. Datang awal ketika mall baru buka dan masih sepi, anak-anak memakai masker KF 94 + masker kain. Beli makanan dan minuman? Iya dong! Godaan nge-mall adalah jajan gitu lho. Meski demikian semua jajanan yang dibeli, tidak kami dine in di dalam mall melainkan kami makan saat sudah di mobil.
Suami saya yang selama pandemi tetap ngantor, sejak varian Delta lalu maskernya juga sudah saya upgrade jadi N95. Persis yang dipakai dokter-dokter di rumah sakit. Suami pun cukup disiplin, tidak buka masker di kantor kecuali di ruangan sendirian saat makan siang. Selebihnya, full masker sampai hidungnya bekas ketempelan masker. Hiks.
Baca Juga: (Akhirnya) Kembali ke Sekolah Juga!
Awal Januari 2022 dikejutkan dengan berita SKB mengenai keputusan PTM 100% untuk seluruh siswa sekolah. Tidak ada opsi untuk orang tua murid memilih, mau tetap sekolah online atau ber-PTM. Sebuah keputusan berat mengirimkan Day, Dil, Dza ke sekolah. Apalagi kami punya beragam latar belakang kenapa saat itu masih ingin sekolah online saja. Apa sajakah itu? Bagaimana persiapan ekstra yang dilakukan agar anak-anak aman dan nyaman ber-PTM, juga kami sebagai ortu tenang mengirim anak-anak ke sekolah? Baca di sini ya!
Day, Dil, dan Dza pun ketika mengikuti PTM saya bekali dengan protokol kesehatan maksimal. Ke sekolah pakai KF94, saya kasih tali biar rapet maskernya. Khusus Dza yang berjilbab syar’i, selain tali juga saya tambahin pin lucu berbentuk pita untuk memastikan tali masker tidak melorot sepanjang sekolah. Di masing-masing tas sudah saya lengkapi kit yang isinya: hand sanitizer, sabun, alcohol spray, masker cadangan, juga tisu basah. Pada tas anak-anak saya beri gantungan bolak-balik yang bertuliskan doa dan juga daftar protokol kesehatan. Setiap masuk kelas, mereka menyemprot meja kursi dengan alkohol, membersihkan tangan dengan hand sanitizer, juga tidak bawa bekal makan minum supaya tidak buka masker sama sekali di kelas. Saat break time anak-anak saya minta untuk mengingatkan gurunya ataupun berinisiatif membuka pintu kelas supaya sirkulasi udara jadi agak mendingan ketika teman-teman mereka buka masker untuk makan bekal. Anak-anak pun saya bekali latar belakang alasan. Jika seandainya apa yang mereka lakukan di sekolah bertentangan atau didebat teman-temannya, mereka bisa menjelaskan dengan benar.
Saya yang dari dulu super parno sama yang namanya kebersihan, akibat pandemi ini jadi ekstra. Apalagi sekarang saya sedang hamil, dan ibu hamil termasuk golongan rentan untuk Covid-19. Ketemu Bibi di rumah aja saya pakai masker. Ada saudara datang ke rumah, saya pakai masker. Ke supermarket sudah jarang, urusan grocery store dibantu suami belanja sepulang kantor. Satu-satunya akses saya keluar rumah adalah untuk jalan-jalan di mobil atau mengunjungi ortu saya di rumah.
Timeline Covid-19 di Keluarga Kami

My brother had a meeting in a cafe on Tuesday, February 1st. Saat tahu dia akan meeting, I warned him untuk hati-hati, karena dia akan meeting dengan a group of people he just knew. Bukan rekan kerja atau teman lama yang dia sudah kenal baik dan tahu habit hygiene and cleanliness-nya ya. Jumat, 4 Februari saya menjemput anak-anak dari sekolah. Ibu menelepon saya agar mampir sebentar ke rumah untuk mengambil beberapa titipan. Saya bersama anak-anak mampir ke rumah cuma di depan pagar. We were still in my car tapi sambil tidak pakai masker karena sedang makan cemilan. Kami mengobrol sebentar dengan Ibu di depan rumah, lalu tiba-tiba adik saya keluar dan menghampiri kami. Rupanya dia hanya mau mengambil sesuatu di teras, karena melihat ada saya dan anak-anak, tiba-tiba dia menghampiri… sans mask. “Hei, halo anak-anak, apa kabar?” Cuma begitu aja lalu masuk lagi ke dalam. Tidak sampai satu menit.
Siangnya, suami mampir ke rumah Ibu untuk drop nasi kotak syukuran 4 bulanan kandungan saya. By the way, sebenarnya waktu itu kandungan saya sudah masuk bulan ke 5 hehehe.
Minggu, 6 Februari. Ibu mengabari bahwa adik sakit panas di rumah. I immediately told my parents to wear mask at home, since we didn’t know yet whether he was just exhausted or covid-19. Oh ya, saat itu ortu saya sudah vaksin booster. Sore harinya, wali kelas Dil mengabari bahwa ada salah satu teman sekelas Dil yang confirmed +. Hiyaaa…. panic mode saya. Lha kalau hari Minggu confirmed + berarti di hari Jumat, saat mereka terakhir masuk sekolah, yang bersangkutan sudah dalam masa inkubasi… artinya potensi untuk menulari teman-teman sekelasnya dong. Apalagi ada satu sesi di sekolah yang saya selama ini kurang sreg: break time bersama di kelas sambil makan bekal, dengan kondisi ruang kelas full AC, ada ventilasi namun terbatas. Saya cek Dil, juga Day dan Dza apakah mereka ada keluhan kesehatan, they said no.
Selasa, 8 Februari. Dil bersama teman-teman sekelas dan gurunya mengikuti swab test sentral dari Puskesmas setempat. Jujur saja saya tidak tahu, ini swab test antigen atau PCR. Info dari suami, saat di Puskesmas petugas menginfokan jika ini tes antigen. Namun saat saya tanya ke wali kelas, beliau menyampaikan bahwa ini PCR Test. Ya sudahlah, saya berdoa supaya Dil tetap sehat-sehat saja. Seandainya Dil positif, maka Day dan Dza, juga suami dan saya harus test juga. And I was worried because I was pregnant. Di hari itu juga panas adik saya sudah menurun namun muncul batuk.
Rabu, 9 Februari. My brother had a PCR Test.
Kamis, 10 Februari. My brother’s PCR Test came back positive! Di hari itu kebetulan suami dan saya pergi ke rumah sakit untuk kontrol kandungan. Saat itu kasus Omicron sedang merambat naik, sehingga dokter saya mengharuskan pasien yang memiliki keluhan batpil untuk antigen dulu sebelum kontrol, serta hanya pasien saja yang diijinkan masuk ke ruang periksa. I had an antigen test in the hospital and the result came back negative. Sedikit lega, karena artinya kemungkinan Dil juga negatif (logika berpikirnya: seandainya Dil positif, harusnya antigen saya juga positif karena frekuensi interaksi saya dengan anak-anak tinggi dan saya masuk golongan rentan. Saat itu tes Dil belum keluar hasilnya). Saya sempat share sama dokter dan dokter berpesan, jika hasil tes Dil positif, saya harus langsung PCR Test. Gercep karena saya sedang hamil.
Sekitar Kamis sore hasil tes Dil keluar. It was negative, alhamdulillah! Kami pun bernapas lega. Saya sehat, Dil pun sehat. Kami yakin bahwa Day dan Dza, juga suami sehat.
Jumat, 11 Februari. Pagi hari saya pegang badan suami terasa hangat. He shrugged it off bilang jika hanya lelah karena sehari sebelumnya mengantar saya ke rumah sakit dalam keadaan sedang puasa. Saya cek temperatur juga normal. Agak siangan, menjelang jam berangkat ke kantor, kok badan suami terasa makin hangat yaaa… Saya cek ulang, ternyata suhu badannya 38,6. Sesekali suami bersin-bersin. He stayed at home in different bedroom. Menjelang maghrib, suhu tubuh suami sudah kembali normal. Kelihatan masih agak teler sih, tapi sudah bisa keluar kamar dll. Saat keluar kamar, suami menggunakan masker. I started nagging him to do PCR Test. Kenapa saya ngotot? Pertama, kasus Omicron sedang ramai. Kedua, adik saya positif dan kami habis bertemu dengan adik saya. Suami masih belum mau karena he felt healthy already.
Sabtu, 12 Februari. Suami, anak-anak, dan saya baik-baik saja tidak ada keluhan. My husband still slept in different bedroom and wore mask. Kalau tidak salah, hari ini hasil PCR Test ortu saya keluar. Bapak negatif, namun Ibu positif. Sesuai dengan aturan, Bapak langsung keluar dari rumah namun tetap melakukan karantina di tempat lain selama 5 hari ke depan karena meski negatif, Bapak adalah kontak erat. Setelah 5 hari Bapak PCR Test ulang. Hasil tetap negatif, Bapak lalu pindah dari tempat menginap ke rumah Eyang.
Minggu, 13 Februari. Saya panas dan batuk! Oh no. Beneran langsung panik saya. Yang ada di pikiran saya adalah saya kena Covid-19. Sumbernya jelas dari adik saya. I met him without mask last week. Hal lain yang bikin panik adalah karena saya sedang hamil. Nanti bagaimana kondisi baby saya, would he/she be alright if I had Covid-19? Terus nanti saya bakal dikasih obat apa sama dokter? Would it be safe for the baby? Saya udah parno aja takut diresepin antivirus ama dokter. Jadi, semalaman sambil sakit panas, saya tidur di kamar sendirian (masih pisah kamar sama suami, pikir saya, gejala saya lebih berat dan saya gerah banget kalau harus berduaan, karena AC pun dimatikan hehehe), sekaligus nangis semaleman hihihi.
Saya mengontak rumah sakit untuk tanya kontak dokter kandungan saya. Hiiih gemesnya they weren’t really helpful. Akhirnya dibantu adik saya googling dan ketemulah akses Telemedicine dokter kandungan saya di rumah sakit lainnya. I booked an appointment for telemedicine. In the mean time, panas saya fluktuatif. Dimulai pada suhu 38,6 dan tertinggi di suhu 39. Saya diresepin paracetamol oleh teman suami yang juga dokter kandungan. Pesannya, maksimal minum hanya 2x. Saya minum 2x, pertama saat siang, dan yang kedua dini hari, karena suhu badan naik hingga 39. Selain minum paracetamol, saya juga memperbanyak minum air mineral dan mengkompres kening serta bagian-bagian yang terasa panas/gerah. Alhamdulillah menjelang subuh suhu badan saya sudah kembali normal dan tidak naik lagi.
Senin, 14 Februari. My husband and I did PCR Test in the morning. Siang hari, saya telemedicine dengan dokter kandungan menyampaikan kronologis penyakit, juga gejala-gejala yang saya rasakan. Saat itu hasil PCR Test memang belum keluar, tapi dokter menyimpulkan, melihat dari keluhan dan gejala yang saya sampaikan, kemungkinan besar memang Covid-19. Oleh dokter saya diresepkan obat batuk generik (karena saya keluhan batuk), multivitamin Becom C, vitamin D3 1.000 iu, dan paracetamol untu jaga-jaga jika panas lagi. I felt relieve karena udah ketemu dengan dokter saya, and she was very calm alias tone-nya “santai aja nggak usah panik”. Menurut dokter, bayi saya aman, terutama karena saya masih jauh dari HPL. Dokter menyampaikan agar saya isoman full 14 hari, banyak istirahat, makan makanan bergizi, dan jangan stress! Hehehe. Malam hari hasil PCR Test kami keluar dan memang positif.
Pengalaman Isoman Bersama Keluarga
Alhamdulillah, Day, Dil, dan Dza sehat-sehat semua meskipun kedua ortunya positif! Such a relieve for me, mengingat anak-anak pasti nempel sama saya sehari-hari. Ditambah lagi, Dza sempat tidur dengan suami dan saya sebelum kami bergejala (yang artinya masih masa inkubasi tapi sudah menular).
How did we navigate quarantine with kids?
Segera setelah menerima hasil PCR Test, kami menyampaikan pada anak-anak dan juga Mama. Day, Dil, dan Dza tetap tidur di kamar masing-masing, namun harus memakai masker jika keluar kamar. Hal ini terutama jika suami dan saya sedang ada di luar kamar (setiap keluar kamar kami pasti pakai masker KN95). Mama yang kamarnya di bawah, tidak naik ke atas sama sekali sepanjang kami isoman. Meski di bawah, saat menonton TV pun Mama menggunakan masker. Alhamdulillah juga saat itu Mama sudah booster. Berharap Mama sudah ada antibodi ekstra dari booster tersebut!
Meski Day, Dil, dan Dza sehat, namun mereka tetap tidur di kamar masing-masing yang satu lantai dengan suami dan saya. Kenapa tidak gabung dengan Mama saja? Pertama, kami berjaga-jaga seandainya naudzubillah dalam beberapa hari ke depan muncul gejala pada anak-anak. Ya siapa tahu mereka sebenarnya tertular tapi gejalanya belum muncul (alhamdulillah it didn’t happen!). Kedua, jika anak-anak bersama Mama, nanti repot urusnya terutama perihal sekolah online hehehe.
Hal lain yang segera kami lakukan adalah menyampaikan hal ini pada Bibi. Kami membatasi area kerja Bibi hanya di luar ruang keluarga saja. Jadi Bibi tetap jaga jarak dengan kami. Untungnya, seminggu sebelumnya saya dan anak-anak kok ya kebetulan sudah jaga jarak sama Bibi. Jarang interaksi dan pakai masker kalau memang mau mengobrol. Waktu itu saya mulai khawatir karena berita Omicron yang mulai meningkat. Yah qadarullah, berarti Bibi tidak sempat interaksi dengan saya ketika saya masih masa inkubasi dan belum muncul gejala. Meski demikian, saya berpesan pada Bibi untuk monitor diri sendiri dan segera kabari jika muncul gejala. Plan saya kalau sampai Bibi ada gejala, akan segera saya PCR Test.
Sekitar 5 hari pertama, saya dan suami tidur beda kamar. Saya tidak nyaman karena batuk parah dan kegerahan. Sebenarnya dalam hati khawatir juga ntar suami ikutan batuk kalau sekamar dengan saya. Padahal menurut dokter, isoman sekamar tidak apa-apa jika sumber/cluster penularannya sama. Kami berdua mengalami Covid-19 gejala ringan. Meski demikian, jika dibandingkan antara suami dan saya, suami jauh lebih ringan lagi. Suami saya tidak mengalami batuk. Hanya bersin-bersin dan hidung berair (tapi tidak sampai meler!) lalu pernah selama beberapa hari selang-seling antara hidung berair dan anosmia. Yup, jadi kalau hari ini bersin-bersin, berarti besoknya daya penciuman hilang, dst. Hehehe. Saya pun sempat beberapa hari merasakan hidung buntu serta anosmia yang datang silih berganti.
Saya memberi suami multivitamin Zegavit juga vitamin D3 1.000 iu untuk konsumsi 20 hari. Suami saya tidak telemedicine, namun melihat kombinasi resep yang diberikan dokter ke saya, informasi paket obat Kemenkes, serta resep yang diterima adik saya, intinya sih di luar antivirus ya yang diminum adalah dua items tersebut ditambah banyak istirahat dan makanan bergizi! Itu pun vitamin D3 hanya kami minum beberapa hari saja. Entah karena sugesti atau betulan, suami saya gatal-gatal saat minum vitamin D3 tersebut. Setelah konsumsi dihentikan, gatal-gatalnya pun hilang. Sekitar hari ketiga atau keempat mengkonsumsi Vitamin D3 tersebut saya kok merasa detak jantung fluktuatif. Tidak seperti biasanya. Teringat teman dekat adik saya yang dokter pernah menyampaikan kalau terlalu tinggi konsumsi vitamin D3 bisa mengakibatkan detak jantung tidak stabil. Kondisi yang terjadi di setiap orang beda-beda sih. Cuma saat saya coba tidak minum vitamin tersebut, eh keluhannya hilang. Akhirnya saya stop juga. Toh meski demikian, saya juga tetap ada asupan vitamin D3 yang terkandung dalam suplemen kehamilan yang saya minum. Selama isoman saya juga tetap mengkonsumsi dua jenis suplemen kehamilan saya: Folamil Genio dan Cal-95.
Buat saya, kombinasi batuk-batuk parah begini dan hamil = menyiksa. Hiks. Setiap kali saya batuk pasti rasanya otot sebadan ketarik semua, berasa kontraksi dan badan terguncang semua. Posisi optimal buat saya kalau mau batuk-batuk adalah sambil meringkuk di tempat tidur, biar tubuh tidak terlalu pegel dan terguncang. Kasian baby saya terombang-ambing melulu kaya kena badai di laut. Hehehe. Meski batuk parah dan tubuh tidak nyaman, saya bersyukur bahwa selera makan saya tetap bagus. Jadi saya tidak kesulitan memasukkan asupan yang dibutuhkan tubuh untuk sembuh dan juga untuk baby dalam kandungan. Buah, jus, sayur, roti, snack, protein hewani, masuk semua! Setelah gejala saya mulai berkurang keparahannya, barulah kami berdua balik lagi sekamar.
Saya lebih ceria karena bisa kelonan lagi berdua sama suami hihihi meski siang hari kami tetap tidur sendiri-sendiri karena kepanasan! Yup, selama isoman kami benar-benar tidak pakai AC agar sirkulasi udara lebih baik.
Rutinitas rumah tangga tetap berjalan seperti biasa meski kami isoman.

Day, Dil, dan Dza alhamdulillah sudah cukup mandiri dan punya jadwal kegiatan mereka terkait household chores. Setiap pagi merapikan, menyapu, dan mengepel kamar tidur serta jemur baju sebelum sekolah online. Saat weekend, jemuran pakaian milik mereka dilipat sendiri karena tidak ada Bibi. Suami saya yang sudah lebih fit, membantu menyiapkan sarapan. Day, Dil, dan Dza makan di meja makan sementara kami berdua makan di luar sambil jemuran atau makan di kamar. Selama isoman, Day menjadi imam untuk sholat berjamaah dengan Dil dan Dza. Suami dan saya sholat berdua di kamar. Di sini saya merasa bersyukur karena Day, Dil, dan Dza sudah bisa menyerap apa yang kami ajarkan yaitu kemandirian. Day juga sudah bisa mengambil peran sebagai imam sholat serta ketiganya tidak pernah lupa waktu sholat. Malah beberapa kali mereka yang sholat duluan ketimbang kami berdua!
Beruntungnya kami selama isoman ada Mama, Bapak Ibu, kakak ipar, serta Tante-Tante yang rajin kirimin lauk dan snack. Weekend saya cukup terbantu karena tidak perlu masak sendiri ketika Bibi off. Alhamdulillah!
Seperti yang saya sampaikan tadi, rutinitas rumah tangga berjalan seperti biasa dengan kondisi suami dan saya isoman, sedangkan anak-anak, Mama, dan Bibi alhamdulillah sehat. Memang sebisa mungkin kami meminimalisir sliweran di luar kamar, namun tentunya pasti ada saat-saat di mana kami perlu beraktivitas di luar kamar: doing our laundry, menyiapkan sarapan, serta berjemur. Beberapa precaution yang kami lakukan selama isoman:
- Rutin desinfektan area rumah (kamar tidur, kamar mandi, railing tangga, door knob, kran, sofa dan kursi, dll yang dilewati dan dipakai setiap hari). Saya punya beberapa macam desinfektan: alkohol 70%, chlorin, Dettol, serta SteriOne dari One Med. This is me being extra, to be honest, you can just use one type of desinfectant (unless you have baby at home).
- Desinfektan area luar & dapur sebelum Bibi datang, termasuk tempat sampah. This is part of our responsibility as employers to ensure a healthy and safe working environment for Bibi.
- Mencuci alat makan kami berdua sendiri: tidak dicucikan Bibi.
- Using separate bathroom. Untungnya kami punya kamar mandi terpisah dari anak-anak.
- Selalu membuka jendela kamar di pagi dan siang hari agar sirkulasi udara baik.
- Memasang air purifier di kamar tidur.
- Menjaga jarak dengan anak-anak, termasuk melarang anak-anak mendekati kamar tidur kami.
- Menggunakan masker KN95 (suami dan saya) serta KF94 (anak-anak). Persentase filtrasinya lebih baik daripada masker medis dan bentuk maskernya menutup rapat area mulut dan hidung.
- Selain rutin berjemur, kami juga menjemur/UV light apa yang bisa dijemur: masker, bantal, dll.
Usai Isoman 14 Hari
Kami menghitung hari isoman sejak gejala pertama kali muncul, yaitu 11 dan 13 Februari. Hari Sabtu, 26 Februari kami melakukan PCR Test ulang. Sebenarnya jika ikut panduan isoman, juga advice dari dokter kandungan saya, setelah isoman 14 hari kami tidak perlu PCR Test ulang. Setelah kurun waktu 14 hari virusnya sudah mati/tidak bisa menularkan lagi plus boros kata beliau hihihi. Yang penting, nanti kalau mau kontrol kandungan lagi, tambahkan waktu 3 minggu setelah isoman selesai, biar lebih fit dan yakin. Anyway, kami tetap PCR Test untuk memastikan, biar pikiran kami, juga ortu dan keluarga yang lain tenang. Selain itu juga untuk clearance suami untuk balik ngantor lagi.
Sabtu malam, hasil PCR Test kami keluar. Alhamdulillah, suami saya negatif! Dia udah ga sabar aja gitu kepingin kerja lagi hehehe… While me? Saya masih positif! Hasilnya sudah saya perkirakan sih. Saya merasa kondisi saya belum 100% fit, meskipun batuk-batuk sudah sangat jarang. Cuma ya karena sudah 14 hari, saya kepingin tahu, progress-nya bagaimana.
Apalagi sebelumnya, Ibu dan adik saya sudah PCR Test duluan. Adik saya yang masih batuk-batuk hasilnya sudah negatif. Kalau Ibu saya, jelas negatif lha wong cuma pilek-pilek 3 hari saja di awal lalu langsung fit. Entah karena daya tahan tubuh Ibu saya bagus atau efek booster ya, yang jelas saya bersyukur. Ibu saya yang komorbid udah fit seperti tidak pernah kena Covid-19!
Meski positif, CT Value saya sudah meningkat, di angka 34. Ibu saya ngotot supaya saya konsul lagi ke dokter. Sayanya ogah-ogahan hehehe. Namanya Ibu saya, strong willed borderline keras kepala… tanpa ba bi bu langsung menghubungi teman SMA-nya yang kebetulan adalah dokter spesialis sekaligus direktur dari laboratorium tempat saya melakukan PCR Test. Ibu saya cerita hasil test saya, juga latar belakang saya yang sedang hamil dan keluhan batuk-batuk. Hasilnya: CT Value di angka 34 itu sudah mendekati sembuh, sudah tidak menular lagi. Kondisi saya yang sedang hamil membuat progress kesembuhan saya lebih lambat dibanding mereka yang tidak ada bawaan apa-apa. Kondisi hamil sendiri dianggap sebagai komorbid. Jadi wajar kalau lebih lama gitu…
Sepanjang bulan Maret saya masih berkutat dengan batuk-batuk yang slowly but sure berkurang. Jadi sensitif segala-galanya! Makan masakan yang digoreng (padahal goreng sendiri) langsung batuk-batuk, terlalu berbumbu/umami/salty/manis juga batuk-batuk. Kena es apalagi! Yah jadi untuk menyiasati, saya mengkonsumsi makanan dan minuman yang aman-aman saja. Meminimalisir pemicu batuk biar cepat recover. Begitu pula dengan aktivitas fisik. Saya banyak tiduran, menghindari lelah karena kalau sudah kelelahan, selain tidak baik untuk kandungan juga bisa dipastikan saya akan batuk-batuk heboh. Saya pun masih jaga jarak dengan anak-anak. Tidak makan bareng dan tidak ngelonin Dza tidur.
Saya masih terus pakai masker KN95 hingga kurang lebih pertengahan/akhir Maret. Setelah itu, batuk-batuk sudah makin jarang, I felt confidence untuk lepas masker. Masker hanya saya pakai dalam kondisi tertentu saja.
Memasuki minggu ketiga bulan April, saya kembali kontrol kandungan. Batuk-batuk yang suka random muncul karena pemicu eksternal sudah tiada. Yah, tinggal satu aja, batuk karena kecapekan yang masih sedikit-sedikit muncul. Hopefully it will subside soon too. Atau paling tidak, batuk-batuk lah selagi persalinan biar itung-itung sekalian dorong baby keluar! Hihihi (saya pernah lihat ada bidan yang membantu persalinan pakai metode batuk-batuk, jadi saat waktunya ngeden, instead of ngeden teriak-teriak heboh, si pasien disuruh batuk-batuk).
The Takeaways
Dulu banget saat awal pandemi, saya pernah bilang ke suami, “Hati-hati ya kalau di luar rumah. Covid-19 ini kok seperti russian roulette, seperti undian.” Well, alhamdulillah kami berdua mengalaminya di saat merebaknya varian Omicron yang gejalanya relatif lebih ringan (meski saya pun tahu, ada juga orang-orang yang masih mengalami gejala berat di fase Omicron ini). Kami bersyukur bisa segera pulih tanpa harus perawatan atau pun obat-obatan ekstra.
Meski demikian, saya tetap kurang sepaham dengan mereka yang berpendapat bahwa lebih baik kena Omicron karena ringan, gratis, dan bisa menjadi vaksin alami. Yah, reaksi tubuh tiap orang ‘kan berbeda-beda ya. Untuk orang gejala ringan saja, suami dan saya berbeda. Saya butuh 2 bulan untuk recover, eh suami saya cukup isoman 14 hari saja beres. Mau gimana juga, yang paling enak adalah kondisi sehat! Dibilang gratis juga tidak, untuk urusan PCR Test, telemedicine, serta membeli vitamin tetap saja ‘kan kami mengeluarkan biaya yang bunyinya “juta”. Ini belum termasuk expense delivery makanan ke rumah lho…
Menjalani isoman 14 hari juga ada sisi positifnya bagi suami dan saya. Selama ini kami kurang beristirahat dan cukup banyak beban pikiran. Isoman membuat kami mau tidak mau harus let loose. Pertama, karena sedang sakit, otomatis tubuh tidak se-fit itu untuk beraktivitas fisik maupun mikir yang berat-berat. Bawaannya pingin rebahan terus aja. Kedua, karena tidak boleh ngapa-ngapain, ya otomatis kami berdua lebih banyak quality time untuk mengobrol, sholat on time, berdoa, main game (suami hehehe…). Saya pun lebih banyak punya me time: menyendiri di kamar buat baca buku, menggambar, atau mewarnai. Jujur aja, jadi stay at home Mom itu juga ada downside-nya: dikit-dikit dicariin oleh anak-anak di saat kita sedang butuh waktu istirahat/menyendiri!
Ada sisi di mana saya bersyukur bahwa anak-anak saya memiliki pengalaman ini. Harapan saya, mereka (terutama Dil dan Dza) bisa lebih dewasa dan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Sampai sekarang, saya mesti pidato panjang lebar tiap kali memakaikan masker ke Dil dan Dza. Dil sudah tahu fungsinya, tahu akibatnya juga, tapi sayangnya kesadaran itu masih dikalahkan oleh habit dia yang gampang gerah: tidak suka badannya ketempelan macem-macem. Kena label baju gerah, pakai baju baru yang bahannya masih kaku juga rewel, jalan-jalan pakai sepatu dan kaos kaki merengut, eh dipakein sandal gunung bagus, baru beli, rewel juga. Dza sendiri, suka kebalik-balik logikanya. Dia sudah memahami fungsi masker, namun terkadang saat ada saudara datang dan saya minta untuk pakai masker, dia bilang, “Lho ‘kan sudah mandi.” Padahal, tujuan utama saya adalah membuat anak-anak berlatih menerapkan prokes ketat. Mumpung latihannya di rumah, dengan saudara sendiri yang kita relatif cukup tahu kesehatannya. Selain itu juga untuk menanamkan pada anak-anak untuk bermasker ketika melakukan interaksi dengan orang-orang yang tidak serumah.
Intinya, selain mengulang-ulang penjelasan biar keduanya ingat dan makin paham, saya juga buat ground rule-nya: wear your mask or stay in your bedroom.
Saat ini saya berusaha mengajak anak-anak untuk beradaptasi dengan aktivitas normal mereka, namun dengan kebiasaan dan “syarat mutlak” yaitu wajib memakai masker di luar rumah/bertemu orang yang tidak tinggal serumah serta tidak melepas masker sama sekali. Day, Dil, dan Dza sudah kembali mengikuti PTM. The boys juga mulai kembali sholat Jumat di masjid. Ke depannya saya juga ingin mereka les mengaji (terutama untuk Day dan Dil yang sudah mau lulus SD tapi belum lolos untuk baca Al-Quran) serta mengikuti latihan Perisai Diri seperti Abi dan Kakungnya! Punya Abi yang levelnya pelatih dan Kakung yang levelnya Pendekar, masa cucu-cucunya tidak meneruskan? Toh manfaatnya banyak sekali.
Last but not the least, semoga ke depannya situasi menjadi semakin membaik. Ritme aktivitas bisa berjalan seperti sedia kala dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan (back to normal bukan berarti mengabaikan kebersihan dan kesehatan!).
Semoga masyarakat jadi punya kebiasaan hidup yang lebih bersih dan sehat setelah pandemi ini. Jujur saya sebel banget lihat orang tidak cuci tangan, tidak ganti baju bersih setibanya dari bepergian… eh langsung nempel sana-sini apalagi naik tempat tidur dan deketin anak-anak! You don’t know what germs/virus/bacteria yang menempel dari luar sana. Belum lagi debu-debunya yang bikin saya bersin-bersin.
Semoga kita semua selalu diberi lindungan dan kesehatan oleh Allah SWT. Aamiin!
0 Comments