
Hello, everyone!
My 35-37 weeks pregnancy experience have been nothing but a rollercoaster ride. There were highs and some unexpected lows.
Sudah lama saya kode-kode suami untuk pergi nge-date berdua. Setiap weekdays kami sibuk dengan urusan pekerjaan, anak, dan rumah tangga… kemudian saat weekend kalau tidak sibuk utak-atik atau kecapekan di rumah ya jalan bareng anak-anak. Saya sih senang-senang saja. Meski di rumah saja saat weekend tapi kalau ada suami rasanya beda: lebih semangat, lebih warm! Jalan ramai-ramai dengan anak-anak pun saya suka. Betapa tidak, idola saya Victoria Beckham, selain karena branding-nya yang kuat, pembawaannya yang anggun serta kurusnya yang abadi itu saya demen banget lihat Victoria (and the Beckhams in general) karena mereka ke mana-mana selalu serombongan alias anaknya banyak. Hehehe. Nevertheless, makin mendekati persalinan saya makin senewen pingin pergi berdua sama suami saja.
InsyaAllah ini akan jadi persalinan pertama saya. Semakin mendekati hari H, perasaan dan pikiran saya semakin campur aduk. Semangat, tidak sabar, namun juga was-was. Saya punya konsep which I adopt from my Mom when she was having my brother and I: tidak membawa keluar bayi untuk jalan-jalan sampai dia cukup usia, at least 1 tahun. Apalagi sekarang sedang pandemi dan bayi belum terbentuk sempurna daya tahan tubuhnya, vaksin pun belum ada. Tak hanya itu, saya berencana untuk pantang 40 hari (Chinese confinement) di mana saya hanya akan di rumah saja selama itu untuk recovery, mencukupkan istirahat, minum ciak po dan kaldu ayam kampung, dll. Artinya, setelah lahiran saya bakal di rumah terus! Pergi juga paling untuk kontrol dokter ‘kan. Sebelum nambah satu anak lagi untuk diurus serta mumpung masih ada waktu buat jalan-jalan (hamil tua harus banyak jalan ‘kaaan… *alasan*) saya kepingin nge-date sama suami. Private time berdua aja tanpa harus “memperhatikan” anak-anak.
June, 4th 2022. Jadilah kami jalan berdua, nostalgia ke mall kesayangan saya selama bekerja yaitu Pakuwon Mall. Kami sampai di mall jam 11.00 lewat dan langsung makan siang. We went for Japanese food karena saya kepingin udah lama hehehe. Setelah itu kami sholat Dhuhur dan putar-putar di mall! ‘Kan saya sudah pernah bilang, jika “olah raga” jalan kaki di mall pasti saya semangat dan bertenaga. Kami baru pulang dari mall sekitar jam 16.30 sesudah menyempatkan belanja beberapa keperluan dan juga jajanan untuk anak-anak di rumah. Happy!
Sesampainya di rumah, as usual, mandi, beberes, serta menyiapkan makan malam. And then it happened. Kepala sebelah kiri sakit pakai banget, alias migrain!
Dulu saat masih ngantor, kala load pekerjaan sedang tinggi kepala saya sering migrain. Meski demikian, migrainnya tergolong ringan. Saya masih bisa kerja, bercanda, bahkan nyetir meski terkadang saya harus minum paracetamol biar cepat hilang migrainnya. Nah, migrain yang ini berbeda. Sakitnya tak tertahankan. Solusinya, saya tidur. Itu juga tidur ayam alias sebentar-sebentar karena tak lama pun saya terbangun kesakitan. Suami mengontak temannya yang seorang Obgyn, he said that I could take paracetamol if the pain is unbearable. Jadilah saya ngetrik, minum paracetamol di malam hari agar bisa tidur. Trik itu berhasil, at some point saya bisa tertidur dan terbangun saat menjelang subuh sekitar jam 03.00-03.30 karena migrainnya kumat. Better than not sleeping at all!
The migrain continued for days. Migrain ini berlangsung setiap hari namun muncul-hilang, tidak konstan 24 jam. Ada jam-jam di mana migrain tersebut hilang sama sekali dan saya bisa beraktivitas. Sekalinya muncul, yah balik lagi ke awal, saya hanya bisa tidur atau nangis saking sakitnya.
June 7th, 2022. Obgyn appointment! My little baby weights 3 kgs!
“Hah kok gede lagi dok bayinya?” tanya saya rada panik. Minggu lalu BB sudah oke, eh sekarang naik lagi hehehe. Saya tuh terbayang-bayang histori di keluarga suami, di mana semua bayi yang lahir ukurannya gede alias 4 kiloan! Mulai dari suami dan saudara-saudaranya, hingga Day, Dil, Dza dan sepupunya. Bayi gede semua! Gimana ngeluarinnya nanti segede ituuu… Dokter berpesan agar saya mengurangi konsumsi yang manis-manis. Ehm ya sih minggu lalu saya kepanasan banget dan rada los memang minum yang manis dan dingin. Oops. Lah gimana, Surabaya panasnya kaya begini, padahal saya udah ngumpet di kamar pakai AC yang disetel dingin. Pada dasarnya saya memang tidak tahan panas, apalagi saat hamil begini.
I told my doctor about the migrain and she told me that it was okay to take paracetamol if the pain is unbearable. Moreover, she also ordered me to do urine test right away at the hospital. Dokter saya bilang, migrain penyebabnya beragam. Bisa karena stress, bisa juga karena hal lain, seperti preeklamsia. Biar lebih aman, saya cek urine saja sekalian. Dokter juga membuatkan rujukan untuk ke dokter spesialis syaraf. Jika hasil tes urine baik namun migrain masih ada saya bisa segera ke dokter spesialis syaraf. Setelah kontrol dokter dan tes urin di RS, suami dan saya sempat putar-putar jalan kaki di area RS. Saya pun bingung karena migrain tiba-tiba hilang, padahal tadinya sejak berangkat ke RS sampai cek urin di lab saya masih migrain. Apa migrain saya terjadi karena stress menjelang lahiran pertama? Atau karena mengkonsumsi makanan dengan kandungan tertentu? (misal, kadar garam terlalu tinggi, makanan mengandung MSG/micin karena memang saya sensitif sama ingredient tersebut).
Hasil tes urine saya keluar dan dikirim via WA ke suami oleh pihak lab RS. My husband checked the result and he said the result was good, everything was negative. Hal yang dikhawatirkan adalah protein urine positif, karena bisa jadi indikasi preeklamsia.
Sampai di rumah, perlahan tapi pasti migrain mulai muncul kembali. I tried to shoulder the pain, ditahan-tahan dan kalau sudah tidak kuat dibawa tidur. As usual, I took paracetamol to help me sleeping at night.
June 8th, 2022. The migrain did not get any better. Pokoknya kegiatan utama saya cuma dua: tidur ama nangis. Seumur-umur saya tidak pernah migrain sesakit ini. Wong jaman masih kerja aja migrain masih bisa dibawa nyetir mobil sendiri. Hari itu Ibu saya datang untuk menginap di rumah. I asked her to come for comfort dan supaya saya bisa istirahat di kamar aja tanpa mengurus anak-anak sepulang sekolah. Kata suami, yang namanya anak perempuan apalagi mau lahiran (pertama) pasti kepingin dekat sama Ibunya. Seeking comfort and assurance. Efek psikologis gitu lah. Yaaah kalau dipikir ada benarnya, setelah Ibu datang saya lebih tenang walaupun tetap migrain. Mom is everything (meskipun kalau ditelepon kita suka eyel-eyelan wahahaha).
… but then again, my Mom and I have a bit of character difference. Ibu saya lebih bandel dan cuek sedangkan saya mikiran. Perhaps I inherited this trait from my father. Ibu bilang, “Lah cuek aja santai. Ibu dulu hamil kamu juga cuma berdua sama Bapak, nggak pakai manggil-manggil Oma.” X_X
June 9th, 2022. Masih migrain berat! Hari ini saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis syaraf. Dokter yang saya pilih adalah dokter yang sama dengan dokter spesialis syaraf Ibu saya. She has a good review about the doctor jadi ya sudah saya ngikut.
Saya jelaskan ke dokter kronologis migrain saya serta histori bahwa dulu saat masih ngantor jika load kerja sedang tinggi saya juga cenderung migrain, dll. Dokter menyimpulkan migrain saya karena stress menjelang kelahiran anak pertama. Apalagi saya orangnya mikiran dan memang ada histori migrain jika stress. Migrainnya sendiri ‘kan datang dan pergi, berarti bukan indikasi penyakit syaraf tertentu. He then prescribed me medicines for five days. Obat-obatnya diminum jika migrain muncul saja. Ada Ranitidine Hcl 150 mg untuk lambung, Diklovit, serta Dival Proex Sodium 500 mg.
I took the medicine for four days and it gradually relieved the migrain until it absolutely gone! Alhamdulillah, lega karena saya tak terganggu migrain lagi. Saya sudah lumayan fit! On June 15th, 2022, saya bisa jalan-jalan di Tunjungan Plaza dari jam 11.30 sampai jam 16.00 dengan Tante saya dari Jakarta yang kebetulan sedang berada di Surabaya, tanpa migrain muncul.
Saya positive thinking that everything is going well!
June 16th, 2022. Waktunya kontrol dokter lagi! Saya cerita kalau akhirnya saya menggunakan rujukan dari beliau untuk ke dokter spesialis syaraf. I told her that the neurologist gave me prescriptions for five days and that I took the meds for four days only since the migrain already gone by then. Terus saya bilang, “Cek urine-nya saya lihat negatif semua dok.”
“Coba ya saya lihat,” jawab dokter saya. She opened her computer to see the online test result and then…
“Lho ini positif lho proteinnya!”
…
Couldn’t really say anything. Agak kaget, karena yang saya tahu jika protein urine positif maka indikasinya preeklamsia. Apalagi didahului dengan saya mengalami migrain berat selama kurang lebih 12 hari. Dokter kemudian mengkonfirmasi, apakah selain migrain dan urine positif tersebut saya mengalami keluhan lain seperti: sakit di ulu hati, muntah-muntah, perdarahan, dll. Alhamdulillah sih tidak ya. But still…
Seperti biasa, dokter melakukan USG. Alhamdulillah semuanya dalam kondisi baik dan InsyaAllah baby juga sehat. One thing I was shocked adalah BB baby yang sudah 3,4 kg! Dalam waktu seminggu naik 400 gram! Kayanya saya kebablasan apa gimana ya? Cuma memang sehari sebelumnya ‘kan saya jalan-jalan sama Tante… rada los sih makan minumnya. Dalam sehari saya makan pasta, minum jus, es teh lemon, es krim… apa itu yaaa penyebabnya X_X
Saya bertanya pada dokter, apakah dengan diagnosa indikasi preeklamsia ini saya tidak bisa melahirkan secara normal? Jujur aja, as I said before on my previous posts… Cara apapun dalam melahirkan tidak ada yang mudah dan tidak sakit. It is part of the journey. Hanya saja selama ini saya sudah menyiapkan mental untuk proses lahiran normal (meskipun ya tetap gamang… jujur kadang mikir segala afirmasi positif yang viral itu beneran as promised atau too good too be true), sehingga cukup ada rasa down juga sih saat dengar diagnosa dari dokter. Apalagi saya berpikir, selama ini tensi saya selalu normal bahkan cenderung rendah. Tidak pernah makan yang aneh-aneh, badan juga kurus-kurus saja dan sehat. Selama hamil pun saya banyak gerak. Gimana tidak, lha wong saya urus rumah dan 3 anak kecil yang tidak bisa diam. Dokter saya lalu menjelaskan bahwa indikasi preeklamsia memang munculnya saat hamil tua. Kondisi saya akan diobservasi seminggu lagi, saat kontrol berikutnya we’ll see. Saat itu dokter tidak bisa bilang, apakah saya harus SC atau normal. Hanya saja beliau menjelaskan bahwa jika si Ibu preeklamsia, solusinya bayi harus dilahirkan. Bayi tersebut cenderung lemah kontraksinya. Jika ingin melahirkan normal, maka kemungkinan harus dilakukan induksi dahulu dan induksi tersebut beresiko perdarahan.
Hari itu saya kontrol kandungan sendirian. My husband dropped me off at the hospital and then he went to pick up the kids from school, stopped by at the nearest mosque for Dhuhur prayer before finally picked me up. Keluar dari ruang dokter saya duduk-duduk di sofa ruang tunggu sambil rada gamang.
I informed my parents and brother. I told my husband. I texted my cousin, Asti. Selama ini teman diskusi saya tentang kehamilan adalah Asti. She already had the experience dan yang saya tahu dulu dia melahirkan her firstborn secara SC dan juga terdiagnosa preeklamsia. Intinya sih, she shared her experience, tentang PE dan SC. Cukup banyak membesarkan hati saya dan memotivasi saya untuk lebih berani. Iya, saya deg-degan membayangkan bakalan dioperasi. Padahal yaaa… lahiran normal juga deg-degan (squeezing a watermelon through an orange sized hole…). I wasn’t joking about the watermelon thing karena baby di kandungan saya sudah 3,4 kg aja saat kontrol kandungan di minggu 37! Lah gimana, saya udah nahan-nahan mengurangi manis-manis (walaupun banyak gagalnya, abisnya Surabaya panas!) dan carbs… yang begini aja bawaannya udah kepingin cakar-cakarin orang hehehe saking laparnya!
Anyway, we waited for next week’s doctor appointment to see the verdict. Dalam hati saya pun bertanya-tanya, memangnya kalo diagnosa PE itu ditunggu/observasi kondisinya bisa berubah?
0 Comments