(Akhirnya) Kembali ke Sekolah Juga!

 

Tahun ini diawali dengan sebuah berita mengejutkan, yaitu terbitnya SKB 4 Menteri mengenai PTM 100%.

Sebuah berita yang membagi orang tua menjadi dua kubu: pihak orang tua yang setuju PTM dan pihak orang tua yang kurang setuju/approach with caution mengenai berita ini. Can you guess which side I am in?

Bagi saya, masa liburan adalah masa yang menyenangkan. Anak-anak libur sekolah, yang berarti saya bisa santai beraktivitas tanpa mengkhawatirkan jadwal dan tugas-tugas anak-anak. Bisa nonton film sepuasnya dan ngapa-ngapain dengan tenang. Sayangnya, ketenangan ini tak bisa berlangsung lama. Awal Januari saya membaca berita mengenai kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan PTM 100% bagi seluruh siswa sekolah tanpa memberikan opsi offline kepada orang tua siswa.

Saya memahami dan juga setuju bahwa anak-anak usia SD lebih optimal belajar dengan kondisi tatap muka ketimbang online. Ambience sekolah lebih terasa, mereka bisa berinteraksi lebih leluasa dengan guru dan teman-temannya, plus mereka juga bisa belajar bersosialisasi. Di sisi lain, menurut saya, situasi yang ada saat ini belum memungkinkan anak-anak untuk tatap muka. Pertama, munculnya varian baru Omicron serta banyaknya masyarakat yang baru saja kembali dari liburan akhir tahun. Seperti pengalaman sebelumnya, setiap usai musim liburan pasti terjadi lonjakan kasus yang baru akan terlihat paling cepat 2 minggu kemudian (bertepatan dengan start PTM). Kedua, anak-anak belum mendapatkan 2 dosis vaksin Covid-19. Ketiga, kekhawatiran saya mengenai penerapan protokol kesehatan di sekolah dan masing-masing siswa. Selama pandemi berjalan, saya dan keluarga termasuk kaum minoritas yang masih belum pergi berlibur, jalan ke mall ataupun dine in. Hal ini berbanding terbalik dengan mayoritas teman-teman sekolah anak-anak. Hati kecil ini tidak rela jika selama 2 tahun saya berusaha menjaga anak-anak agar tidak sakit, lalu sekalinya PTM mereka naudzubillah ketularan dari seseorang di sekolah yang prokesnya kurang ketat.

Sosialisasi PTM

Sosialisasi pelaksanaan PTM diadakan secara online oleh pihak sekolah pada 12 Januari. Kala itu Kepala Sekolah menjelaskan perihal landasan pelaksanaan PTM yaitu SKB 4 Menteri, gambaran mengenai bagaimana penerapan protokol kesehatan di sekolah, serta sesi tanya jawab. Jujur, agak kecewa juga sama SKB 4 Menteri: bahwa siswa sudah mendapat 2 dosis vaksin Covid-19 bukan menjadi salah satu syarat pelaksanaan PTM. Ya, tenaga pendidik dan karyawan sekolah sudah divaksin lengkap, tapi sudah divaksin lengkap juga tetap bisa terpapar dan menularkan ke orang lain, begitu pula dengan ortu ataupun anggota keluarga lain dari masing-masing siswa. Sending the kids to school without complete doses of vaccine is like sending them to a warzone without armor. Saya tidak rela gambling kesehatan anak saya, apalagi di keluarga kami ada lansia komorbid dan juga saya yang sedang hamil. Gambaran pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah yang dijelaskan juga umum sekali. Ekspektasi saya, bakal dijelaskan detail step by step prokes di sekolah mulai dari kedatangan siswa hingga kepulangan, kondisi di dalam kelas, serta tentunya teknis screening dan monitoring kesehatan siswa dan warga sekolah secara berkala. Pihak sekolah pun menekankan sejak awal bahwa acuan pelaksanaan PTM ini adalah SKB 4 Menteri alias order from above, yang menyiratkan bahwa hal ini bukanlah keputusan pihak sekolah dan bahwa pihak sekolah harus mematuhi ketentuan tersebut without room for improvisation. Sekolah seolah tidak ada/mau berimprovisasi atau membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi di sekolah, alias harus persis plek sama SKB 4 Menteri. Padahal kalau saya baca SKB tersebut, ada poin yang menyatakan bahwa pelaksanaan bisa menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Artinya ‘kan ada ruang untuk kebijakan.

Seusai penjelasan dari Kepala Sekolah, dibukalah sesi tanya jawab… yang tidak saya sia-siakan tentunya! Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan karena saya merasa kurang jelas.

Mekanisme screening dan monitoring mengikuti aturan yang ada yaitu random sampling setiap 2 minggu. Tidak ada kewajiban swab bagi seluruh siswa sebelum memulai PTM. Sempat sih saya mengusulkan agar pihak sekolah membuat kebijakan sebelum PTM dimulai seluruh siswa melakukan swab mandiri. Yahhh namanya private school yang (no offense) jajan mama-mamanya lebih gede dari biaya swab, secara finansial saya yakin ortu siswa mampu melakukannya, ditambah lagi PTM ini akan dimulai tepat usai musim liburan. Tujuannya simpel: sama-sama memastikan anak-anak masuk sekolah dalam keadaan sehat. Pihak sekolah menyampaikan bahwa untuk hal ini kewenangan sekolah hanya sebatas memberikan himbauan pada ortu yang habis bepergian ke luar kota untuk melakukan swab. Sekolah tidak bisa mewajibkan karena tidak ada landasan aturannya di SKB 4 Menteri. Udah gitu keselnya lagi, ada ortu siswa yang kenceng banget meng-counter usulan saya tersebut. Ishhh… *sabar*

Pihak sekolah akan mengusahakan agar jendela/ventilasi dibuka, dengan kondisi AC tetap menyala… karena anak-anak sudah terbiasa belajar di dalam kelas yang dingin ber-AC. Jawaban ambigu dan kurang tegas menurut saya. Sempat saya sampaikan, pihak sekolah sebagai pihak “dewasa” dan juga pemberi contoh yang baik, sebaiknya bersikap tegas, betul-betul membuka jendela dan ventilasi saat pelaksanaan PTM. Bukan melihat kondisi, barangkali ada siswa yang mengeluh kepanasan atau ortu yang komplain anaknya kepanasan di kelas karena AC menyala tapi jendela dibuka… kalau tidak tegas, bukan tidak mungkin ujung-ujungnya sekolah bisa menuruti komplain tersebut dan mengabaikan protokol kesehatan. AC ‘kan circulated air yaaa, udara yang sama diputar terus menerus di ruangan tersebut, sekalian sama virus dan bakterinya. Hampir 2 tahun belajar di rumah, anak-anak saya tidak pernah batuk pilek, berbeda dengan saat masih sekolah dulu, tiap bulan ada aja yang giliran batuk pilek dan akhirnya menulari orang serumah. Bayangkan jika yang ditularkan itu Covid-19?

Ekskul dan olah raga sendiri rencananya akan dibuka secara bertahap dengan pilihan kegiatan yang tidak berat secara fisik, sehingga siswa masih bisa menjaga jarak dan memakai masker. Okelah! Perihal vaksin 2 dosis, sekali lagi sekolah menegaskan bahwa dalam SKB 4 Menteri, siswa sudah divaksin 2 dosis bukanlah syarat PTM, jadi ya mau tidak mau harus mengikuti PTM. Gemes sih, profil kesehatan tiap anak/keluarga ‘kan berbeda-beda, ada yang rentan, ada yang kuat, ya masa anak-anak kecil begini harus ke sekolah dalam keadaan belum divaksin lengkap? Udah divaksin aja masih bisa sakit ‘kan.

Naaah… untuk scan Peduli Lindungi ini harapan saya bisa diterapkan karena: mama-mama punya habit nongkrong di sekolahan (at least back then before the pandemic) dan karena saya tahu, ada ortu yang menyatakan kalau dirinya anti-vaksin. Beda yaaa anti-vaksin dengan tidak bisa divaksin karena alasan kesehatan!

Jujur saja, saya agak kecewa mendengar jawaban-jawaban dari pihak sekolah. Sebenarnya yang saya harapkan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pihak sekolah bisa memberikan jawaban tegas mengenai protokol yang diterapkan. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan yang saya harapkan, tapi at least sekolah bisa menjawab secara tegas bukan memberikan jawaban-jawaban yang menggantung begini. Ditambah lagi semua jawaban dikembalikan ke SKB 4 Menteri, sehingga sekolah terkesan tidak mau/tidak bisa menerima masukan dari orang tua dan membuat kebijakan internal. Meskipun demikian, saya juga berpikir, terbitnya SKB 4 Menteri ini ‘kan mendadak, bisa jadi memang pihak sekolah belum benar-benar siap untuk melaksanakan PTM. Bisa jadi saat sosialisasi pun, protokol masih digodok oleh pihak sekolah. Who knows…

Diskusi dan Persiapan di Rumah

Suami dan saya pun berdiskusi. Selama ini yang laid back dan tenang ‘kan suami yah. Kalau saya setelannya udah spaneng melulu sampai kebawa tidur (padahal lagi hamil hiks!).  Jadiii… ada beberapa teman suami yang berprofesi dokter, menunda masuk sekolah anak-anaknya sampai mereka mendapat 2 dosis vaksin. Suami menegaskan, poin itu yang saya ajukan ke sekolah. Day, Dil, dan Dza baru mendapat vaksin dosis 1. Jadwal vaksin dosis 2 untuk Dil bertepatan dengan hari pertama PTM sehingga kami masih bisa mengijinkan Dil untuk bersekolah (tapi besoknya ijin buat istirahat di rumah hehehe…) sedangkan untuk Day dan Dza, jadwal vaksin dosis 2 mereka masih sekitar 2 minggu dari hari pertama PTM alias akhir bulan. Mereka lah yang akan kami ajukan untuk ijin menunda masuk PTM.

Saya berkomunikasi secara pribadi dengan Kepala Sekolah untuk meminta agar Day dan Dza diberi ijin belajar di rumah hingga mereka menerima vaksin dosis 2 serta agar mereka tidak dianggap bolos/alpa. Repot juga ‘kan kalau kedua anak saya ditulis Alpa 2 minggu di rapornya, apalagi Day sebentar lagi mau masuk SMP, performance di rapor pasti diperhitungkan untuk pendaftaran! Saya pun menyampaikan bahwa tugas-tugas sekolah akan saya koordinasikan dengan wali kelas Day dan Dza, sehingga meski di rumah, Day dan Dza tetap disiplin belajar dan tidak ketinggalan. Sejujurnya, kami punya argumen cukup kuat mengapa kami ngotot agar Day dan Dza tidak masuk sekolah dulu sebelum vaksin 2 dosis. Day punya alergi, Dza masih kecil, di rumah kami ada golongan rentan termasuk saya, serta di keluarga kami sudah memiliki pengalaman berhadapan dengan Covid-19 saat varian Delta lalu. It was not easy!

Alhamdulillah, Kepala Sekolah mengijinkan! Lumayan lega, bismillah semoga Dil aman masuk PTM.

Langkah selanjutnya adalah menjelaskan ke anak-anak.

Saya menjelaskan bahwa ada kebijakan agar anak-anak sekolah PTM per Januari ini. Tujuannya baik, agar anak-anak bisa belajar dengan optimal. Namun, saya juga menyampaikan bahwa saat ini kondisi sudah berbeda dengan dulu. Jika dulu, kita masih bebas berdekatan, ketawa-ketawa dengan teman tanpa masker dan jaga jarak, tidak ada resiko tertular penyakit berat maka sekarang kita harus beradaptasi dengan kebiasaan yang baru. Selalu memakai masker dan menjaga jarak. For whatever reason, dilarang membuka masker di luar rumah.

“Lebih baik kamu ditegur sama guru/teman karena ngotot tidak mau buka masker daripada kamu buka masker di sekolah. Kalau kamu diapa-apain di sekolah, nanti Mami yang maju,” ujar saya.

Saya juga menjelaskan pada Day, Dil, Dza … mengapa Dil boleh masuk PTM dahulu sedangkan Day dan Dza harus menunggu. Banyak hal yang mereka tanyakan, termasuk Day dan Dza yang setengah merengek kepingin masuk sekolah karena kangen teman-temannya. Setelah diberi penjelasan, akhirnya pun mereka bisa memahami.

Naaah.. 2 tahun sekolah online yang namanya seragam sekolah jelas tidak terurus: udah kekecilan dan kependekan which means saatnya beli seragam baru. Dulu tuh saya suka ngomong ke suami, “Kenapa sih pemerintah ini ngotot anak-anak keburu masuk sekolah, vaksin aja belum jelas gimana. Kalau anak sakit memangnya pemerintah mau nanggung? Yang susah, sedih, repot juga pasti orang tuanya ‘kan. Cukup pekerja ajalahh yang masuk kantor, biar ekonomi muter…” Hari Minggu, kami pergi ke toko langganan untuk membeli seragam. Ternyata toko tersebut lumayan ramai oleh orang tua dan anak-anaknya yang juga membeli seragam sekolah. Saat kami selesai berbelanja, di area parkir saya melihat mobil box sedang dropping seragam sekolah berkoli-koli. Di momen ini saya baru menyadari sesuatu. Masuknya anak-anak untuk PTM menyebabkan industri perlengkapan sekolah menggeliat kembali: seragam sekolah, sepatu, serta perlengkapan sekolah lainnya yang selama hampir 2 tahun ini bisa jadi tidak bergerak karena yeah tidak ada ortu yang membelikan anaknya seragam sekolah dll karena belajarnya aja di rumah. Atas pakai kemeja seragam, bawahnya celana pendek! Hehehe…

Selain seragam, persiapan lainnya adalah membeli sampul untuk buku-buku Tematik anak-anak, tas sekolah untuk Dza, sepatu untuk Day dan Dil,  jam tangan untuk Dil dan Dza. Yup, karena 3 anak jam sekolahnya agak selisih, mereka harus pakai jam supaya tahu, kapan saudaranya keluar kelas dan kapan waktunya dijemput. Selain itu, tujuan membelikan jam tangan adalah agar anak-anak lebih bertanggung jawab dan sadar waktu. Saya ingat, sejak kelas 1 SD dulu sudah diajarin pakai jam tangan oleh Bapak.

Teruuus yaa karena bawaan hobi bikin printilan… saya rapi-rapiin lah binder Day dan Dil. Sejak tahun ajaran ini buku catatan mereka saya ganti pakai binder a la anak kuliahan. Anak sekolah sekarang jarang mencatat, lebih banyak diskusi dan tanya jawab… kalau tiap pelajaran ada buku tulisnya sendiri super ribet dan bukunya suka ilang ke mana-mana (boys…). Begitu pula dengan buku tulis Dza, saya kasih cover yang lucu dan kutipan hadits untuk dihayati, serta reminder untuk selalu berdzikir dan istighfar. “Kalau lagi nganggur di sekolah, daripada bengong kamu baca dzikir ama istighfar aja, biar dijaga Allah di sekolah, biar nggak sakit hehehe…” Begitu kira-kira pesan saya.

Hal terpenting yang tak ketinggalan adalah kit protokol kesehatan. Setiap anak saya beri pouch berisi hand sanitizer, alcohol spray, tisu basah, dan masker cadangan untuk dibawa di tas masing-masing. Selain itu saya pasangin juga hang tag di tas mereka, sisi depan berisi protokol kesehatan sedangkan sisi belakangnya berisikan Doa Afiat.

Malam sebelum masuk sekolah, Dil, serta Day dan Dza (meskipun mereka masih ijin belajar di rumah) saya briefing. Semakin dekat dengan hari PTM, sayapun deg-degan, kepikiran, dan curhat melulu sama suami. Udah kaya kaset kali ya curhatan saya ke suami, tiap maleeem itu melulu yang dibahas. Hehehe…

Hari PTM Tiba!

17 Januari, hari pertama Dil PTM. Suami dan saya mengantarkan Dil ke sekolah. Memang sudah niat saya mengantarkan anak-anak di hari pertama mereka masuk sekolah… sekaligus menyerahkan surat ijin Day dan Dza ke Kepala Sekolah. Naaah… di jalan, tiba-tiba suami bilang, “Aku kok deg-degan ya…” Yhaaaaa… ternyata selama ini suami yang selalu menenangkan saya bisa khawatir juga. Jadi lah kita duo parno, but apapun itu, bismillah ikhtiar prokes sudah dimaksimalkan dan sisanya banyak berdoa sama Allah.

Hal paling saya tekankan adalah selama di sekolah tidak boleh lepas masker. Suami dan saya sepakat tidak membawakan bekal snack dan minuman kepada anak-anak. Tujuannya agar mereka tidak lepas masker sama sekali selama di sekolah. Apapun alasannya, masker jangan dilepas, kecuali alasan medis seperti sesak napas, barulah anak-anak boleh melepas masker. Itupun harus menjauh dari kerumunan. Begitulah pesan yang kami sampaikan pada Dil.

Dil pun sempat bilang, kalo dia takut dan deg-degan. Takut ketularan Covid. “Mami juga takut kamu kenapa-napa. Makanya kita ikhtiar prokes yang ketat ya di sekolah. Nggak usah lepas masker sama sekali. Pintu utama masuknya virus dari mulut dan hidung. Doa sama dzikirnya dibaca terus. Kalau diajak makan, tolak aja. kalo dikasih jajan ama temenmu, terima aja bawa pulang makan di rumah hihihi… Nanti waktu dijemput Mami bawakan makanan ama minum yaaa,” begitu pesan saya.

Hal lain yang saya sampaikan pada Dil (juga Day dan Dza ketika mereka masuk kembali PTM) adalah untuk memastikan pintu dan jendela kelas terbuka meski memakai AC. Terutama saat sesi break time di mana siswa membuka maskernya untuk makan dan minum.

“Pintu dan jendela dibuka supaya ada pertukaran udara ya Nak. Jadi udara sama virus dan bakteri bisa keluar, kalau cuma pakai AC aja, udara yang sama beserta penyakit-penyakitnya ya muter aja di dalam ruangan terus. Kamu harus berani ingetin dan jelasin ke Bunda dan teman-teman ya. Harus bisa jadi agent of change. Itu artinya kamu jadi pembawa perubahan baik di lingkunganmu. Anak Mami Abi harus berani ya.”

Dalam hati saya deg-degan juga, inget nggak ya ini anak dikasih pesan sebanyak ini. Hihihi.

Sepulang sekolah saya mengobrol dengan Dil: bagaimana kegiatan di sekolah, senang tidak, penerapan protokolnya di kelas bagaimana, dll. Well, memang tidak bisa dipungkiri the kid misses his friends. Bisa lebih leluasa mengobrol, bercanda, dan berekspresi dengan teman kala bertemu langsung. Dil juga bilang kalau dia mengingatkan saat break time supaya pintu dibuka. “Aku udah bilang… terus ya udah aku buka aja sendiri pintunya Mami,” ujar Dil. Good!

Hari pertama PTM ini sekaligus hari vaksin dosis 2 untuk Dil.

Agak siangan, wali kelas Dil mengirimkan dokumentasi kegiatan vaksin di sekolah. Eaaaaaaa… ternyata si Dil disuntik sambil tutup mata. “Serem Mami!” ujar Dil sepulang sekolah. Ya sudah, tidak apa-apa, at least Dil sudah berani disuntik sendirian tanpa didampingi ortunya!

Lalu bagaimana dengan Day dan Dza?

Setiap pagi saya whatsapp wali kelas masing-masing untuk menanyakan materi pelajaran dan tugas untuk hari itu. Kebetulan sekolah anak-anak saat itu tidak memfasilitasi pengajaran bagi siswa yang di rumah (lagi-lagi SKB 4 Menteri) jadi materi pelajaran saya jelaskan sendiri ke Day dan Dza. Setelah dijelaskan tentang materi pelajaran, keduanya mengerjakan tugas saat itu juga, sehingga ketika Dil pulang sekolah, tugas-tugas Day dan Dza juga sudah selesai sesuai dengan schedule sekolah. Meski Day dan Dza memahami alasan kenapa mereka belum boleh ikut PTM, tetap aja yaaa ada komentar dari mereka, “Enakan belajar di sekolah. Kalo ngerjain tugasnya di rumah lebih panjang… Mami cereweeet!” Hahaha. Yaaah Mami ‘kan orangnya detail dan Mami punya tanggung jawab sama masa depan kamu!

Dza yang paling kerasa culture shock-nya. Sebagai anak yang baru masuk SD, Dza belum paham load pelajaran dan tugas anak SD tatap muka. Selama ini Dza hanya mengalami pembelajaran secara online yang beban materi dan tugasnya tentunya sudah disesuaikan alias lebih ringan. Kena tugas-tugas dengan mode PTM begini, di 2 hari pertama belajar di rumah Dza nangis-nangis heboh sampai Mama ikutan bingung. Kasian sih, tapi gemes juga pingin ketawa. Dza bilang, “Mami ih anaknya nangis diketawain. Aku ‘kan baru pertama kali masuk SD belum tau tugasnya giniii…”

27 Januari. Hari yang membuat Day dan Dza bersemangat, namun saya deg-degan. Yup, hari ini adalah jadwal vaksin dosis 2 untuk mereka sekaligus hari pertama Day dan Dza mengikuti PTM (daaan seperti Dil, besoknya saya ijinin untuk belajar di rumah karena habis vaksin hehehe). Nahhh beberapa hari sebelum ini, saya sempat baca berita ada oknum yang menyuntikkan vaksin kosong pada anak-anak SD. Vaksin kosong ini maksudnya suntikan tidak ada isinya apa-apa, cuma dicublesin aja ke anak. Kejadiannya di luar pulau sih seingat saya, tapi tetap aja kepikiran. I told Day and Dza, “Sebelum disuntik kamu harus lihat ya, pastikan: jarum suntiknya baru dan suntikan yang diberikan ke kamu ada isinya vaksin. Bukan kosong.” Saya pun menjelaskan alasannya kenapa, biar anak-anak paham.

“Berani ya, suntik ga merem?” tanya saya.

“Berani Mami!” jawab Day dan Dza antusias.

Sekitar jam 10.00 saya menerima whatsapp dokumentasi kegiatan vaksin dari wali kelas Day dan Dza. Day dengan tenang disuntik dan melihat prosesnya alias tidak tutup mata. Dza… well waktu saya buka fotonya, I couldn’t help but laughing. Yaaah di rumah udah sok iyes yakin berani mau lihat suntikan, kenyataannya harus dipegangin 2 orang! Hihihi. Terus saya tanya dong ke wali kelasnya, “Bunda, Dza kenapa ya sampai dipegangi 2 orang?”

“Iya Bun, tadi anaknya sempat mau kabur…” jawab wali kelas Dza. tongue-out

Beberapa hari kemudian, saat menemani Dza tidur malam saya tanya…

“Dza, katanya berani… lha kok sampai dipegangin 2 Bunda waktu vaksin? Itu gimana ceritanya…”

“Iya ada yang nangis pas disuntik berdarah,” jawab Dza.

“Oh lha itu mungkin waktu disuntik dia berontak, makanya geser terus berdarah. Kalau diem aja ‘kan nggak apa-apa.”

“Ih Mami ‘kan aku takut.”

“Terus kamu ngapain?”

“Ya pas ngantri aku nggak papa… terus pas udah mau giliranku aku lari…”

“Terus?”

“Terus dikejar sama Bunda. Digandeng deh. Kata Bunda, Mau sehat nggak?… Gitu. Tapi sebelum disuntik aku sempat lihat orangnya ngisi suntikannya, ada isinya kok Mami.”

“Terus kamu nggak malu, lari-lari sampai dikejar Bunda, di depan banyak orang?”

“Nggak.”

“Lho kok nggak malu?”

“Iya ‘kan aku masih kelas 1. Anak kelas 1 ‘kan banyol [masih lucu-lucunya],” jawab Dza sambil cengengesan. Dasar bocah! Hahaha.

Anyway, saya tidak bisa memungkiri bahwa the kids are happy at school. They miss their friends, they miss studying in the right environment, they miss their interaction with the teachers and they miss playing after school while waiting for the parents to pick them up. Anak-anak juga butuh melihat dunia luar dan bersosialisasi. Mereka pun lebih antusias belajar di ruang kelas langsung bersama teman-temannya. Manusia memang makhluk sosial, naturally we strive living among others ketimbang living in solitary. Saya pun senang ketika melihat mereka pulang sekolah, keringetan dan wajahnya memerah karena kepanasan but with a huge smile on their faces.

Semoga pandemi ini segera terkendali. Herd immunity segera terbentuk and we can really live side by side with Covid-19 tanpa khawatir ancaman resiko berat penyakitnya. Semoga juga anak-anak bisa tetap kondusif PTM di tengah situasi yang masih belum pasti saat ini.

Aamiin!

Written by Anty

A CR Girl turned stay at home Mom of 3 kids. Missus Heroine is the place where I share my thoughts and journey adapting into my new roles as well as many other things. Here I am, in a journey of becoming the Heroine I want myself to be.

More From This Category

Week 38-39: Final Verdict

Week 38-39: Final Verdict

Oh how time flies. Tak terasa saya sudah di penghujung masa kehamilan. It felt surreal, I had mixed feelings about it. I was happy to finally experience pregnancy. Saya mendengar ragam cerita pengalaman kehamilan dari saudara dan teman, and that gave me a head up on...

read more

0 Comments

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Drop me your email and I'll slide into your inbox for updates!