Life Update: A Whirlwind Ride

by | Jul 16, 2021 | Journal, Life as It Happened | 0 comments

The sky was clear and the sun shone brightly. The weather was nice and breezy.

I took this picture four days ago when my kids were taking their nap. A short quite moment, just enough to put my mind at ease amidst the whirlwind around me. 

How is everyone going anyway?

Jujur saja, beberapa minggu ini saya merasa overwhelmed. It all began a few weeks ago when I posted about my views on PTM plan. Kebijakan pemerintah dan rencana sekolah tatap muka di tengah situasi pandemi yang belum terkendali ini membuat saya was-was. Sudah khawatir saja jika anak-anak harus bersekolah kembali. Bukan ingin bersikap pesimis, tapi yah ternyata pertengahan Juni kemarin adalah permulaan dari gelombang Covid-19 varian Delta di Indonesia. Bertubi-tubi saya mulai menerima kabar dari circle saya. Kabar dari rekan kerja, teman-teman, serta kerabat yang positif atau bahkan berpulang. Sebagian besar dari mereka usianya masih muda dan cukup fit.

Pertengahan Juni lalu anak-anak sedang libur sekolah. Saya berencana mengisi waktu liburan mereka dengan English conversation and reading activities yang saya pandu sendiri. Namun di saat bersamaan, mendadak Bibi (she is our maid) ada urusan keluarga yang menyebabkan Bibi harus cuti kerja. Ijin cutinya sih sebentar, tapi karena sekarang kondisi sedang pandemi, Mama dan saya sepakat untuk memperpanjang masa cuti Bibi hingga kurang lebih 10 hari… sekalian karantina mandiri, toh Bibi habis berkumpul dengan banyak orang selama beberapa hari. Selain itu juga memberikan waktu bagi Bibi untuk beristirahat, agar kondisi Bibi tetap fit.

Which means… household chores yang biasa Bibi kerjakan harus dikerjakan sendiri. Melayanglah rencana English program bersama anak-anak… hiks. Padahal niatnya mau bikin convo session lho untuk boosting skill dan rasa percaya diri anak-anak. Also, school holiday is a period for me to lift the stress a little off my mind. Sejak anak-anak sekolah daring, tingkat stress saya meningkat. Setelan kenceng dan spaneng setiap hari Senin-Jumat. Jumat siang, yang merupakan hari terakhir anak-anak bersekolah, biasanya saya merasa sedikit lebih lega dan rileks. Begitu masuk hari Minggu sore, mulai deh saya terhantui kembali dengan bayang-bayang sekolah daring. Bukan berarti saya tidak suka mendampingi anak-anak saya di rumah lho, karena I would still choose to do this over and over again instead of taking the risks of sending them to school in the middle of pandemic. Cuma yaa… kadang-kadang memang “capek” juga harus bermain tarik ulur dengan anak-anak saat belajar: disiplin tapi tidak terlalu keras agar mereka tidak kehilangan semangat, menyeimbangkan antara belajar dan waktu bebas untuk anak melakukan kegiatan yang diinginkannya. Lalu ditambah dengan mengerjakan household chores yang biasanya dibagi dua dengan Bibi. 

Menjelang Bibi masuk kerja kembali, sekitar 25 Juni, prokes di rumah ditingkatkan: saya memasang poster protokol kesehatan, cuci tangan, dan lain-lain di beberapa area rumah. Sebelum Bibi kembali bekerja, saya meminta Bibi untuk swab antigen dahulu. Selama Bibi masih beraktivitas, anak-anak saya minta untuk tetap di dalam rumah. Saya berusaha beraktivitas terutama di dapur sepagi mungkin, sebelum Bibi datang bekerja. I stayed inside to avoid direct contact, koordinasi pekerjaan dengan Bibi via WA dan jika memang harus bertemu, sebisa mungkin menjaga jarak dan pakai masker KN95. Biasanya, KN95 saya pakai jika perlu ke luar rumah dan masker medis untuk di rumah. Bibi pun saya minta untuk selalu pakai masker medis saat bekerja. Sebuah kewajiban yang sempat kendor beberapa bulan lalu. Di satu sisi sebenarnya saya bersyukur dan beruntung karena Bibi sekeluarga cukup tertib menerapkan prokes di rumahnya. Nevertheless, sebisa mungkin kami membatasi kontak dengan orang yang tidak serumah. 

Pernah juga saya parno sendiri karena merasa badan linu-linu, bersin, pusing, serta nggreges di hari yang sama saat tanpa sengaja saya berbicara tanpa masker dengan Bibi. Ujung-ujungnya sih nggak kenapa-napa, cuma kebetulan saya ternyata sedang PMS yang gejalanya memang mirip sama flu. Hehehe.

Baru bisa napas legaan dikit ehhh balik lagi harus kerja keras! On Monday, July 5th, after a week of back to work Bibi suddenly called… she said that she had a typhoid fever. Honestly, I hoped that she really got typhoid fever instead of Covid-19. The symptoms were similar.  Secara otomatis, saya langsung hitung mundur ke belakang, apakah kami sempat kontak langsung dengan Bibi.

When I heard about this news, well… I knew that we would have to manage the household without Bibi’s help at least for a month.

 I didn’t want to make Bibi feel pushed to recover hastily (and pose risks to us) by constantly asking for information, so I (and Mama) decided that we’d let her take her time. 

“Aku mau menyiapkan mentalku… tanpa Bibi dan urus 3 anak sekolah online,” celetuk saya ke suami.

***

On Tuesday, July 6th, Mom broke a news that my brother had a fever since the night before. His temperature was around 38-39 degrees Celcius and the fever didn’t subside for the next three days. He had no other symptoms except fever and pain on his joints. I (and his doctor friend) thought about the worst case scenario. Pikiran saya lumayan panik. Pas bertepatan di hari itu suami dan saya vaksin. I had a terrible headache (sampai mual), induced by a combo of vaccine and news about my brother. Disclaimer, saya nggak nyalahin vaksinnya ya. Memang stress combo aja saya mah itu.

What did I do that Tuesday? Oh ya, bolak-balik telpon Bapak Ibu untuk memastikan mereka full pakai masker di rumah dan menghindari kontak langsung dengan adik. Discussed and coordinated with my brother’s doctor friend on what actions and preventive measures we should do ASAP, termasuk bagi tugas: pesan obat-obatan dari Halodoc dan cari stok obat di klinik dia. My brother tried to shrug it off and said that he was probably exhausted. Memang sih, adik saya ini kalau kecapekan banget bisa sampai panas, but we didn’t want to take any risk. Belum ketahuan diagnosanya kenapa adik saya panas nggak turun-turun, tapi karena tidak mau kecolongan, salah satu langkah awal adalah gave him antibiotics. Panas tinggi berhari-hari selama tiga hari berarti ada infeksi berat di dalam tubuh seseorang. Penyebabnya bisa bakteri, atau virus. The goal of fast action was to stop the fever and avoid my brother from being taken to hospital. RS sudah penuh di mana-mana, dan membawa adik saya ke RS jika panasnya tak kunjung turun sangat tidak kondusif. Apapun diagnosa sakitnya, harapan kami adalah agar adik saya dirawat di rumah saja. Makanya harus gerak cepat, supaya tidak keburu parah.

Di hari Rabu, adik saya pergi untuk cek darah dan swab antigen. The swab result came back negative, but his blood test result was somewhere between normal, ada infeksi bakteri tapi bakterinya sudah melemah karena antibiotik, or just plain asymptomatic Covid-19. 

I called Tante Indri to ask where was Eyang Putri’s tabung oksigen. During her final days I remembered that Eyang had tabung oksigen stood by her bed. Ternyata itu tabung milik Tante Indri. I told her I wanted to borrow it if necessary. At the same time I got news that her son in law (whom she lived with) was isolated in a facility due to Covid-19 but the rest of the family was tested negative. Isi kepala saya seperti diaduk-aduk mixer kecepatan tinggi. 

On Thursday, my parents were swabbed, the result was negative alhamdulillah… and they moved to rumah Eyang until today.

Sambil jalan, suami saya mengobrol dengan temannya yang seorang dokter spesialis penyakit dalam. Diskusi untuk second opinion mengenai adik saya. Pendapat dari teman suami kurang lebih searah: sementara ini menganggap adik saya suspect Covid-19 dan diperlakukan selayaknya pasien isoman sampai dengan 14 hari meski swab PCR negatif. 

Sekitar 7 Juli malam, suhu tubuh adik saya sudah mulai normal dan stabil seterusnya. Wajahnya sudah mulai terlihat segar dan mulai berkeringat kembali. Pelan-pelan back to normal. Saya lega, seperti ada beban yang terangkat. Sakit kepala dan spaneng yang melanda beberapa hari ini perlahan menghilang

***

Monday, July 12th. The first day of our kids going back to school. Day and Dil were 5th and 4th grade, respectively… while Dza, started her 1st grade online! My girl finally entered elementary school! I was so excited for her but at the same time I felt like losing her. Iya, setelah setahun saya pegang sendiri, ajarin sendiri semuanya, eventually someone would interfere in teaching her. Padahal yaaa tetap aja sih selama sekolah online ‘kan Dza juga saya dampingi. Di luar itu pun saya masih mengajari dia Bahasa Inggris, bobo siang bareng, dan lain-lain. Ditinggal sebentar saat lagi mendampingi Dza sekolah online aja saya dikomplain, “Mami, kok aku ditinggal-tinggal terus…” 

Hehehe. 

Three kids online school + no Bibi = teamwork, scheduling, discipline… and off course enlisting all the help I could have.

School started at 07.30, after subuh prayer my little troops of 3 cleaned up their bedroom (made bed, swept and mopped the floor) and showered while I ironed their uniform, prepared breakfast, and cooked for lunch. My husband (the best!) did laundry and dishes. I am so grateful to have someone who helps out and inadvertently set example for the kids… especially for Day and Dil. He shows them how to be a real gentleman and how to treat a woman. 

When the laundry finished, the kids hung the laundry to dry, logged on their online account and then ate their breakfast. We had our breakfast at 07.00 and I assigned Day to be the time keeper: kids had to finish eating in 15 minutes… put the dishes in the kitchen and sat in front of their computers. I continued to cook for lunch after Dza finished her school while she got her reward. I told her if she studied diligently she would be allowed to watch Nussa dan Rara on Youtube for 30 mins.

Yes, the Youtube embargo is still ongoing in our family so this acts as a treat for her (and Day Dil too who sometimes join her). Kids played together while I finished my cooking and then we had our lunch around 13.00. Yeah, I knew it’s a bit late, but kids have had their snacks in between already… enough to fill up their stomach for a while! 

After lunch, the kids picked up the laundry. Yup, jemur dan angkat cucian sudah menjadi chores yang dikerjakan anak-anak manakala Bibi tidak ada. Sore hari, setelah mandi atau terkadang setelah dinner, the kids fold their own laundry before they study. No TV time in the evening since the kids were only permitted to use up their 2 hours screen time during the day.

As parents, we want our kids to be as independent as possible. I don’t want our kids to be entitled brats. Bolak-balik saya bilang ke anak-anak, “Kita harus mandiri, tidak tergantung sama orang lain.”Tentunya juga sembari memuji dan mengucapkan terima kasih pada anak-anak for helping with the chores… rasanya jika dibandingkan dengan teman-teman mereka, Day, Dil, and Dza are more adept in doing their daily chores. Saya sangat terbantu dengan apa yang dilakukan anak-anak. I save lots of time and energy, karena setiap harinya pun adaaa aja hal-hal yang muncul mesti dikerjakan meski anak-anak sudah membantu. Saya terharu dan often times, senyum-senyum sendiri. Anak-anak mengurus laundry dengan gembira, sambil bercanda, ketawa-tawa, dan berimajinasi. Dua hari lalu, Day memanggil adik-adiknya untuk angkat jemuran, “Dil, Dza, ayo petik apel!” Terus mereka ketawa-ketawa sendiri di atas. Memang sih, jemur dan angkat cuciannya jadi lama dan berisik banget, hanger juga bolak-balik jatuh, tapi as long as they are doing it happily (and with safety precaution) I’m fine!

***

We’ve been going on like this for 12 days!

Physically, I am beyond exhausted. Mentally? As I said earlier, I am overwhelmed as well as anxious and other mixed feelings. There are this flow of constant informations and things happening in my life: having to manage a household efficiently without help, chaperoning 3 kids studying and whatnot, while I am also constantly worrying about my husband whenever he is leaving for work. During the day I often text him only to remind him not to take off his mask unless he is completely alone in a separate room to do sholat or have lunch. I told him that we have to schedule the grocery shopping schedule and avoid impromptu shopping to minimize interaction in public area. 

I know it is sad… but I feel a bit of relieve that in the midst of Delta variant surge and PPKM period, the mosque is closed for Friday prayer. At least he doesn’t have to mingle with other people.

On Monday, he told me that he had to go to a plant in Pasuruan for a business meeting this Wednesday. Business hadn’t been so good the past two years, so a business meeting like this is important. I couldn’t stop him off course, but I didn’t deny that the information gave me a sinking feeling.  I prayed… but also bought an N95 mask (on Tuesday afternoon using an instant delivery!) for him to wear. As he looked at me in disbelief (N95 is very expensive) I told him this was for his safety and my sanity.

***

On Tuesday evening, I got a news that one of my parents’ next door neighbours has passed away from Covid-19 at home. 

Let’s say, di kompleks ortu ada 4 rumah. Rumah ortu saya nomor 2. Rumah tetangga kami ada di nomor 4, namun tetangga nomor 4 ini sering bermain dan menginap di tetangga nomor 3 serta dekat dengan tetangga nomor 1. Terkait ortu dan adik saya, sebenarnya saya sudah lega dan tenang karena adik saya PCR-nya negatif dan sudah segar bugar (meski masih menyelesaikan masa isoman dan sampai sekarang masih inconclusive sebenarnya adik sakit apa). Mendapat informasi seperti ini, hmmm… rasanya deg-degan kembali. Alhamdulillah ortu saya masih menginap di rumah Eyang, bayangkan jika tidak… bisa saja kemungkinan orang tua dan adik saya menjadi kontak erat juga, karena ortu saya terutama Ibu terbilang cukup dekat dengan para tetangga ini. 

Saya mengabari suami dan menyampaikan that for the time being, let’s not visit my parents. Terkadang saya suka mampir ke rumah ortu siang-siang, sendirian atau mengajak Dza, untuk sekadar say Hi, mengobrol, atau kirim/ambil makanan. Yah, sepertinya untuk sementara waktu kami harus menahan untuk tidak berkunjung dahulu. Setidaknya sampai situasi kondusif: para tetangga selesai isoman dan terkonfirmasi negatif….. atau sampai saya sendiri tenang dan yakin. 

***

Wednesday, July 14th. Hari ini suami berangkat business trip ke Pasuruan. Nggak nginep siiih sebenarnya. Cuma 2-3 jam saja lalu balik lagi ke kantor. Kalau dipikir-pikir, 2-3 jam perjalanan itu durasi commuting saya saat masih ngantor dulu atau juga rata-rata perjalanan di kota Jakarta ya segitu-itu ya. Sebentar tapi cukup bikin parno.

Malam sebelumnya saya nggak bisa tidur. Sampai kepikiran, apa suami harus karantina dulu ya 5 hari sepulang dari sana? Tidur pisah kamar dan menjaga jarak dengan kami, serta kami full pakai masker. Ujung-ujungnya sih.. nggak gitu juga! Habisnya gimana ya, tidur nggak dikelonin ‘kan nggak enak!

Meski demikian, tetap ada precautions yang dilakukan: suami pergi pakai N95, saya bawain baju ganti untuk segera mandi keramas di kantor sepulang dari Pasuruan, serta mengukur suhu dan saturasi oksigen. Oh ya, tidak lupa juga untuk berdoa dong! Memohon kepada Allah SWT agar kami semua diberi kesehatan, perlindungan, dan keselamatan. Bismillah!

***

Looking back at sebulanan ini, wow. What a ride.

Nggak ada Bibi, is a way of Allah answering my prayers of wanting my kids to be independent.

Tanpa adanya Bibi (semoga hanya sementara ya) anak-anak jadi lebih mindful akan apa yang mereka kerjakan. Tahu, kalau satu aktivitas meleset sedikit, maka akan berbuntut ke aktivitas mereka lainnya. Keluhan dan rengekan saat menyelesaikan chores wajib mereka sudah mulai jarang terdengar. Nggak perlu terlalu disuruh-suruh lagi, mereka sudah otomatis tahu what’s next to be done!

“Nggak ada Bibi begini capek ya semua harus dikerjain sendiri, tapi aku seneng.. rasanya beda karena kita berlima ngerjain semuanya bareng-bareng. Terasa kekeluargaan dan aku lebih nyaman.”

Demikian komentar saya ke suami pada suatu pagi. 

Memang benar ya pelajaran PPKN yang dulu diajarkan saat SD. Bergotong royong itu membangun rasa kekeluargaan dan suasana yang lebih guyub. Lebih dekat dengan anak-anak. Everyone plays his/her own part to make the house clean and comfortable. I feel more at home. Selama ini, I am still trying to grasp with the concept of a home. Someone has been living in this house before me. Someone worked here before my presence and seemed to know the way around here, more than I do. Saat ini, saya merasa lebih leluasa: untuk mengatur, menata, serta membangun suasana yang nyaman. 

***

Saya menyadari bahwa banyak orang lain di luar sana merasakan, mengalami hal serupa atau bahkan lebih dibandingkan saya. Namun, saya tak memungkiri bahwa pusing, panik, takut, khawatir, perasaan yang nggak enak-enak tercampur aduk semua dalam benak ini. Bahasa Jawanya, pikiran butek! Setiap buka WA atau medsos, isinya berita sedih melulu. Dikombinasikan dengan kesibukan di rumah, memfokuskan diri untuk berpikir tenang dan jernih jadi agak susah. 

Alhamdulillah.

Tidak ada kata lain yang sepatutnya saya ucapkan. Allah masih menyayangi dan melindungi kami sekeluarga. Allah masih menjaga suami saya saat ia di luar rumah. Allah masih memberikan kesehatan untuk orang tua, masih membuka jalan rezeki untuk suami dan adik saya meski kondisinya tak mudah. Allah masih mengizinkan kami untuk berkumpul bersama.

Kadang ya, terlintas di pikiran saya, pandemi ini adalah teguran dari Allah buat manusia, termasuk saya. Manusia dengan segala kecerdasan dan pencapaiannya mungkin sudah merasa sebagai makhluk yang superior, bisa ngapain aja, lebih, lebih, dan lebih lagi. Jumawa, gitu lho. We always strive for more lalu lupa. Lupa sama sang Pencipta, lupa berdoa, lupa beribadah, lupa bersyukur, lupa jadi orang baik.

Humans and their ego live in cloud nine. This pandemic is His way to tie us back to the ground. As the clouds shift and make ways for the sun to shine, I hope, this too shall pass. I miss being a happy bright person with no burden in mind.

Written by Anty

A CR Girl turned stay at home Mom of 3 kids. Missus Heroine is the place where I share my thoughts and journey adapting into my new roles as well as many other things. Here I am, in a journey of becoming the Heroine I want myself to be.

More From This Category

0 Comments

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Drop me your email and I'll slide into your inbox for updates!