Pertemuan Tatap Muka: Yes or No?

by | Jun 15, 2021 | Essays | 0 comments

 

 

 

I am a mother of 3 children aged 10 (Day – 4th grade), 9,5 (Dil – 3rd grade), and 6,5 (Dza – currently gap year, will start the 1st grade on July 2021).

Minggu lalu ada online meeting antar orang tua murid dan pihak sekolah untuk membahas rencana PTM (Pertemuan Tatap Muka) di tahun ajaran baru Juli 2021. Therefore, in this written piece I’d like to elaborate informations and my thoughts toward this plan. 

Secara keseluruhan, tulisan saya kali ini akan merangkum mengenai:

  • Sekolah dengan PTM di Asia Tenggara & Data UNICEF Education Covid-19 Response Update (October 2020 – updated).
  • Perkembangan Covid-19 di Indonesia.
  • Cluster sekolah di Indonesia.
  • Rekomendasi IDAI terkait pelaksanaan sekolah PTM.
  • Pertanyaan dan masukan untuk pihak sekolah.
  • Final thoughts.

 All in all, tujuan saya adalah menyampaikan masukan dan pendapat, untuk pihak sekolah dan juga sesama orang tua murid. As well as to get the weight off my chest (hmm… this is what my platform for, right? Hehehe). Pendapat ini bukan sekadar didasarkan pada perasaan namun juga di-support oleh data. Dari pertama kali di-share slide presentasi meeting oleh salah seorang wali murid yang juga pengurus komite, saya langsung mengumpulkan data. Secara pribadi saya memang memiliki pendapat/pandangan saya, namun saya juga ingin dan harus mempelajari data lapangan yang ada. Biar valid, biar argumen tidak ngawang dan cocoklogi. Saya mengumpulkan data dari artikel media online (pilih news media yang valid, tidak clickbait, artikel dibaca sampai selesai), organisasi terkait (UNICEF, WHO, website covid19.go.id, Instagram @pandemictalks which I believe because people behind the Instagram accounts are doctors), dokumen terkait yang bisa diakses via internet (UNICEF report, SKB 4 Menteri), serta tentunya sesi interview IG Live bersama Prof. Aman Pulungan.

Terbatasnya durasi online meeting tentunya membuat saya tidak akan bisa menyampaikan secara lengkap landasan data yang saya gunakan untuk mengajukan pertanyaan ataupun memberi masukan. Lebih pas jika dijabarkan pada posting blog ini, sekaligus sharing informasi untuk Moms lainnya yang juga akan menghadapi hal yang sama.

Harapan saya, kita semua selaku stakeholders sekolah dapat bersama-sama make an informed decision.

This summary of information will also be used to educate my kids on current situation.

Saya yakin kita semua memiliki tujuan yang sama: memastikan well being of our children, baik dari kesehatan fisik, mental, juga dari segi pendidikan dan social skill yang akan membekali mereka sebagai generasi penerus keluarga, agama, dan bangsa.

***

Sekolah Tatap Muka di Negara Tetangga

 

 

Membaca slide pertama ini saya tergerak untuk mencari tahu lebih dalam. Data 85% negara di Asia Timur dan Pasifik ini sesuai dengan sumber yang dicantumkan, dikutip dari data UNICEF, lebih tepatnya UNICEF Education Covid 19 Response Update – October 2020 (updated). Silakan klik hyperlink-nya untuk membaca full report tersebut. Nah, di sini saya capture beberapa bagian yang menurut saya relevan dengan pembahasan rencana PTM ya.

Sumber: UNICEF Education Covid 19 Response Update – October 2020 (updated)

 

Sumber: UNICEF Education Covid 19 Response Update – October 2020 (updated)

 

Sumber: UNICEF Education Covid 19 Response Update – October 2020 (updated)

 

Sumber: UNICEF Education Covid 19 Response Update – October 2020 (updated)

 

Sumber: UNICEF Education Covid 19 Response Update – October 2020 (updated)

 

Berdasarkan data di atas, di wilayah Asia Timur dan Pasifik, ada 23 negara yang sudah membuka sekolah secara penuh (PTM), 2 negara membuka sekolah secara partial (sebagian sekolah PTM, sebagian lagi secara daring), dan 2 negara masih belum membuka sekolah secara PTM. Indonesia sendiri termasuk negara yang membuka sekolah secara partial. Dijelaskan juga dalam report ini bagaimana update kondisi pembelajaran di masing-masing negara. Tentunya report dari UNICEF, yang kemudian dikutip sebagai landasan SKB 4 Menteri dan didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai acuan dasar pelaksanaan PTM ini melalui hasil riset yang valid.

Meski demikian, yang namanya kondisi lapangan ‘kan fluktuatif, selalu berkembang dari waktu ke waktu. Apalagi jika berhubungan dengan pandemi ini, melibatkan dua variabel yang susah dikontrol: virus dan manusia dengan segala mobilitas dan perilakunya. Saya mencoba berkaca pada beberapa negara terdekat untuk mengetahui perkembangan kondisi Covid-19 di sana dan hubungannya dengan aktivitas masyarakat, terutama sekolah.

Pertama, Vietnam. Vietnam sendiri sempat muncul di pemberitaan sebagai negara di Asia Tenggara yang berhasil mengatasi pandemi (klik di sini dan di sini). Namun pada Februari 2021 terjadi outbreak yang mengakibatkan kegiatan dihentikan, termasuk kegiatan sekolah. Sebanyak 75 anak-anak dan 10 guru dikarantina setelah seorang siswa berusia 4 tahun terkonfirmasi positif Covid-19. Peristiwa ini terjadi di Hai Duong Province, yang merupakan epicenter penyebaran di Vietnam.

The province is Vietnam’s epicenter with 277 confirmed community infections since the first new cases were detected on Jan. 27. […] On Feb. 4, Vietnam recorded 38 new community transmissions, mostly linked to the outbreak detected last week in the northern province of Hai Duong. The outbreak caused by the more contagious British variant of the coronavirus has spread to 10 cities and provinces, including capital Hanoi and Ho Chi Minh City (Source).

Pada berita lainnya, di tanggal 29 April 2021, Vietnam juga melaporkan adanya transmisi lokal pertama dalam 35 hari, yang lalu diikuti sejumlah transmisi lokal di berbagai wilayah. Sumbernya dari overseas travelers dan disinyalir kejadian ini bakal menjadi the first of many karena di akhir April-awal Mei ada hari libur yang memungkinkan warga untuk membentuk kerumunan (Source).

Sekarang kita pindah ke negara favorit warga Indonesia, yaitu Singapura. Mengutip artikel dari CNBC.com yang dimuat pada 16 Mei 2021:

Singapore warned on Sunday that the new coronavirus variants, such as the one first detected in India, were affecting more children, as the city-state prepares to shut most schools from this week and draws up plans to vaccinate youngsters.

All primary, secondary and junior colleges will shift to full home-based learning from Wednesday until the end of the school term on May 28 (Source)

Ada 38 kasus baru, empat di antaranya adalah anak-anak di lembaga kursus. Di Singapura sendiri baru seperlima warganya yang sudah menerima vaksin. Pemerintah juga masih berusaha mengevaluasi dan mengajukan regulasi terkait izin vaksinasi untuk anak-anak.

Negara terdekat kita, Malaysia sudah beberapa kali melakukan MCO (Movement Control Order) alias PSBB. Pada bulan Januari 2021, saat MCO 2.0, sekolah-sekolah tidak diperkenankan melakukan PTM dan beralih ke virtual learning.

“All primary school students and secondary students from Form 1 to Form 5 will undergo virtual teaching and learning from home (PdPR) according to the suitability between teachers and students beginning Jan 20, 2021,” the ministry said.

“The decision was made following a discussion conducted between the Education Ministry together with the Health Ministry as well as the National Security Council following the surge in new cases recorded on Jan 16 and the incremental trend of new infections registered by the country of late,” read the statement (Source).

Sebuah artikel pada bulan April 2021 menjelaskan perihal kasus Covid-19 yang terjadi di sektor pendidikan sejak Januari 2021 lalu:

“A total of 83 Covid-19 clusters related to the education sector were recorded from Jan 1 until yesterday, said Health Minister Datuk Seri Dr Adham Baba.

He said data from the Crisis Preparedness and Response Centre (CPRC) showed that 49 clusters (59.04%) with 2,617 cases were still active, while 34 clusters (40.96%) with 2,251 cases were declared ended.

Of the total clusters, 39 clusters with 1,420 cases were from the Ministry of Education’s schools or institutions subcategory, 19 clusters with 1,870 cases (the higher education subcategory) and 25 clusters with 1,578 cases (other education subcategories) (Source).

Menurut The New Strait Times pada April 2021 lalu, National Parent-Teacher Association di Malaysia mendesak agar kementerian menutup sekolah (PTM) karena meningkatnya laju kasus Covid-19 di lingkungan sekolah. Dorongan ini juga diperkuat oleh concern banyaknya masyarakat yang abai protokol dengan membawa anak-anak ke keramaian seperti Ramadhan Bazaar. Sounds familiar? Ehm… Ehm… (Source). Sementara itu, The Star pada 30 April 2021 menyebutkan bahwa dari 17 kasus baru, 4 di antaranya terjadi di lingkungan pendidikan. Di Dataran Sentral, Seremban terdeteksi 96 kasus positif, lalu ada 37 kasus positif dari sekolah di Section 11, Shah Alam, 38 kasus positif di Lutong, Serawak, serta 17 kasus positif di Perak (Source).

Pada Ramadhan, sebuah langkah preventif dilakukan untuk mencegah meningkatnya penyebaran, terutama pada anak-anak dan lingkungan sekolah:

All primary and secondary schools nationwide will return to the home-based teaching and learning method (PdPR) when the education session resumes after the school holidays in conjunction with Hari Raya Aidilfitri next month. […] This is among the mitigation efforts announced by Education Minister Datuk Dr Radzi Jidin to prevent Covid-19 outbreaks from affecting schools, subsequently protecting teachers and children from the risk of being infected by the virus (Source).

Saat school term baru dimulai pertengahan Juni, seluruh sekolah di Malaysia akan melakukan pembelajaran secara online. Hal ini disampaikan Menteri Pendidikan Malaysia pada press conference 6 Juni 2021 lalu (Source).

Vietnam, Malaysia, Singapura. Tiga negara di Asia Tenggara yang dapat kita jadikan sebagai studi kasus pembukaan sekolah tatap muka. Tiga negara ini masyarakatnya sedikit banyak memiliki kultur ketimuran yang mirip: sama-sama suka berkumpul. Ndableg-nya juga 11-12 lah sama sebagian warga kita, meski ada juga yang tertib. Kenyataannya di lapangan, pelaksanaan sekolah tatap muka ini masih belum bisa berjalan mulus 100%. Bermunculan kasus-kasus positif dengan cluster sekolah. Mereka yang density penduduknya jauh lebih rendah dari Indonesia aja seolah kewalahan saat membuka sekolah, bagaimana dengan kita ya? Trennya sendiri jika dilihat, kasus-kasus bermunculan selepas Hari Raya/Libur, di mana masyarakat membentuk atau mendatangi kerumunan (tempat wisata, bazaar, dll).

Sebuah tren yang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia: masyarakatnya masih gemar berkumpul, membuat/mendatangi kerumunan. Kadang ya, kalo lagi nganggur banget saya bukain WA status atau InstaStory-nya orang-orang dan saya lihat banyak yang menghabiskan weekend/long weekend/liburan dengan jalan-jalan ke luar kota, nongkrong di resto/cafe, nge-mall, ataupun main ke tempat wisata.

Untuk dapat menjalankan PTM dengan lancar, seluruh stakeholders harus sepakat dong! Sepakat disiplin menerapkan 5M (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi). Sayangnya, masih banyak yang masih doyan mendatangi kerumunan dan membawa anak-anak turut serta. Nah, kalo sudah begini, timpang dong dengan orang tua yang selama ini sudah jagain banget anak-anaknya dengan membatasi keluar rumah dan interaksi. Secara tidak langsung, peluang resiko menjadi lebih tinggi. 

Orang tua memiliki peran utama untuk mengedukasi dan memberi contoh anak-anaknya, terkait dengan Covid-19 ini, ya bagaimana orang tua mengedukasi anak-anaknya tentang Covid-19, resiko, dan mitigasinya. Lalu, bagaimana ortu mencontohkannya pada anak? Jika edukasi dan contoh bertolak belakang, bukan tidak mungkin, tingkat pemahaman anak yang masih kecil-kecil ini kurang, akibatnya sense of crisis mereka juga tidak terbentuk, dan mereka nantinya juga tidak maksimal menjalankan protokol kesehatan. Menganggap enteng dan permisif. Which means, imposing risks to their friends and community at school too. 

Anyway, saya seneng tadi karena tadi saat online meeting PTM, Kepsek sempat menyinggung hal yang sama ini!

***

Covid-19 di Indonesia

It has been a long ride with seemingly no end in sight.

It’s a film (dare I say, horror?) that hasn’t reached its plot height yet.

Indonesia reported 8,892 new daily coronavirus infections on Thursday (Jun 10), the highest number since Feb 23. The country has reported nearly 1.9 million cases in total. […] Case numbers have risen sharply in Java and Sumatra three weeks after holidays that followed the Islamic fasting month of Ramadan, when millions ventured across the archipelago, ignoring a temporary travel ban (Source).

Ada sebuah ulasan menarik dari Kompaspedia. Artikelnya cukup panjang namun memaparkan data dan analisis peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia. Ulasan ini ditulis pada 7 Juni 2021. Buat yang gemar statistik, coba baca deh. 

 
Sumber: Kompaspedia.

 

Nampak bahwa peningkatan mobilitas ke tempat hiburan terjadi saat hari libur/Idul Fitri 2021. Berkaca pada pengalaman Idul Fitri tahun lalu, serta hari-hari libur pada 2020, maka diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kasus Covid-9 terjadi setiap setelah liburan panjang dan tentunya diikuti juga dengan lonjakan angka kematian, Analisis tren lonjakan kasus tersebut dilihat saat minggu ke-3 dan ke-4 pasca liburan (Source). Seperti yang saat ini sedang kita alami: kasus Covid-19 3 minggu pasca Idul Fitri meningkat 53,4% (Source).

 

 
Indonesia berada di urutan 18 dunia dan pertama di Asia Tenggara dalam hal jumlah kasus Covid-19. Ini update data mingguan per 9 Juni 2021 lalu. Positivity rate harian di Indonesia sebesar 18,59% sedangkan positivity rate mingguan (per 30 Mei-5 Juni 2021) sebesar 16,20%. Artinya, masih jauh di atas standar yang ditetapkan WHO yaitu di bawah 5%(Source).Jika suatu negara/wilayah mencapai positivity rate di bawah 5% artinya penularan Covid-19 sudah terkendali dan harapannya akan terus menurun seiring berjalannya waktu. Meski demikian perlu diingat, jika suatu wilayah positivity rate-nya rendah, bisa jadi juga karena rendahnya jumlah spesimen yang dites. Penjelasan yang mudah dipahami tentang positivity rate bisa dibaca di sini ya.

 

Sementara itu menurut berita yang dimuat oleh detik.com, berikut update di Surabaya per 11 Juni 2021 lalu:

Tambahan kasus positif COVID-19 di Jawa Timur terus naik. Pada Jumat (11/6), ada tambahan 441 kasus baru di Jatim. Pasien meninggal tambah 35 (Source).

Tiga kota tertinggi yang menyumbang tambahan kasus adalah Bangkalan, Madiun, dan Surabaya. Rumah Sakit Darurat RSLI Indrapura saja kapasitasnya sudah hampir terisi penuh. Dari kapasitas 400 pasien, 324 sudah terisi dengan mayoritas pasien asal Madura. Nah, 92% dari pasien ini masih dalam tahap infeksius alias masih menular (Source).

“Kondisi saat ini sudah 324 pasien yang dirawat di RSLI, terdiri pasien Pekerja Migran Indonesia (PMI) 80 orang, pasien klaster pondok 14 orang, pasien dari klaster Madura 145 orang dan pasien umum 85 orang,” kata Nalendra, Sabtu (12/6) (Source).

Di Surabaya sendiri angka harian positivity rate per 15 Juni 2021 meningkat jadi 9%. 

“Ketika ada kenaikan dari 5 persen ke 9 persen secara total Surabaya, maka berarti ini alarm dan warning buat kita. Sedikit kita lengah, cepat ini berangkatnya (kasus COVID-19), berarti kita harus hati-hati, saya harus warning betul kita harus tetap menjaga protokol kesehatan,” kata Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi di Balai Kota Surabaya, Selasa (15/6/2021). (Source).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri menyampaikan agar tenaga kesehatan bersiap-siap menghadapi lonjakan kasus positif.

“Teman-teman di IDI (ikatan dokter Indonesia) mungkin bersiap-siap, melihat bukti empiris biasanya angka puncak (kasus) terjadi 5 – 7 minggu sejak liburan, jadi mungkin sampai akhir bulan atau awal bulan Juli kita masih melihat adanya kenaikan, yang membutuhkan bantuan dari teman-teman.” (Source).

 

Covid-19 dan Sekolah Tatap Muka di Indonesia

Uji coba sekolah tatap muka pada beberapa SMK di Jawa Tengah berbuntut 179 siswa terkonfirmasi positif:

Dari Pemeriksaan swab yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Tengah terhadap 8 siswa tersebut diketahui 5 siswa positif Covid-19. Setelah itu dilakukan pemeriksaan lagi terhadap beberapa siswa lain yang mengalami gejala sama dan hasilnya 27 orang positif Covid-19. Jumat sore, kami menerima update data lagi, yang positif bertambah 152 orang, jadi total 179 orang siswa. (Source).

Tiga sekolah di Batam, Kepri ditutup karena masing-masing seorang siswanya terkonfirmasi positif (Source). Cluster sekolah mulai bermunculan di wilayah Sumatera Barat sejak sekolah tatap muka dibuka. Di SMAN 2 Padang tercatat 10 orang terkonfirmasi positif, di asrama SMAN 1 Sumatera Barat, Padang Panjang tercatat total 61 terkonfirmasi positif dari yang semula 18 orang. Tak hanya itu, di Pondok Pesantren Ar-Risalah Padang, tercatat 122 positif serta sebanyak 25 praja positif di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Baso Agam (Source). Sekolah-sekolah ini adalah sekolah yang para siswanya sudah cukup “dewasa”, bukan anak-anak seperti TK atau SD, sehingga harusnya sudah cukup paham dan memiliki kesadaran to govern themselves in conducting health protocol. Bagaimana jadinya, jika yang sudah mulai tatap muka adalah anak-anak usia TK dan SD, yang masih dalam tahap belajar membentuk kebiasaan baik? Di rumah aja, dalam pengawasan ortu masih suka nawar atau lupa sama protokol kesehatan (minimal cuci tangan deh…).

Di Jember, sebanyak 16 guru dan karyawan SMK 6 Tanggul terpapar Covid-19. Hal ini bermula dari salah seorang guru yang kedatangan mudik menantunya dari Jakarta. Menantu guru tersebut saat di-swab test antigen terkonfirmasi positif, menulari 5 orang anggota keluarganya. Salah satu anggota keluarga yang tertular hingga meninggal dunia adalah guru SMK 6 Tanggul (Source).

“Setengah tahun yang lalu juga pernah ada rencana PTM tapi akhirnya batal. Nah, sekarang ini kan pandemi masih belum hilang, apalagi akhir-akhir ini kasus COVID-19 sangat mengerikan dengan kasusnya yang naik. Kami kuatir nanti malah ada klaster sekolah,” ujar Ketua IDAI Jatim, dr Sjamsul Arief MARS SpA(K), kepada Basra, Jumat (11/6).
Lebih lanjut Sjamsul mengungkapkan, meskipun anak yang terpapar COVID-19 kondisinya tidak sampai berat, namun anak dapat menjadi pembawa virus pada orang-orang sekitarnya.
“Ya memang anak yang kena COVID-19 kondisinya tidak terlalu berat, tidak sampai meninggal dunia. Tapi kan anak bisa OTG, jadi pembawa virus bagi keluarganya, apalagi kalau ada lansia di keluarganya. Ini kan bisa berbahaya,” jelasnya.
Di Jawa Timur sendiri, lanjut Sjamsul, anak yang terpapar COVID-19, berdasarkan data yang dimiliki IDAI Jatim per 7 Juni 2021, secara kumulatif terdapat 2.863 kasus. Sedangkan anak yang meninggal karena COVID-19 secara kumulatif ada 24 anak.
“Dari laporan yang masuk ke saya, setiap minggu selalu ada kenaikan kasus. Per tanggal 7 Juni bertambah 20 anak yang positif COVID-19, yang meninggal bertambah 7 anak,” ungkapnya. (Source).

***

Rekomendasi IDAI untuk Pelaksanaan PTM – IG Live bersama Prof. Aman Pulungan

Hari Minggu lalu saya menonton sesi IG Live dr. RA Adaninggar, SpPD (@ningzsppd) dengan Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A, (K), FAACP, FRCPI (@amanpulungan)Saya sendiri mengikuti Prof. Aman Pulungan di Instagram sejak awal pandemi berlangsung. Beliau banyak sekali membagikan informasi dan juga membangun awareness terkait kesehatan anak terutama di masa pandemi ini. Dari informasi yang beliau bagikan di Instagramnya lah saya mendapat banyak insight. 

Topik yang diangkat oleh dr. Ning dalam bincangnya dengan Prof. Aman Pulungan adalah mengenai rencana pelaksanaan sekolah tatap muka. Berikut note dari sesi IG Live tersebut:

  1. IDAI mendukung rencana pemerintah untuk melaksanakan sekolah PTM. Anak adalah human capital yang harus diperhatikan keadaan dan perkembangannya.
  2. Sebagai human capital, anak memiliki hak hidup, hak sehat, dan hak pendidikan. Hak hidup dan hak sehat anak harus diutamakan pemenuhannya dulu.
  3. Jika sekolah tatap muka akan dilakukan maka harus memenuhi syarat berikut:
    • Seluruh guru, karyawan sekolah (security, cleaning service, dll), siswa sudah divaksin lengkap.
    • Dilakukan swab test PCR berkala (bukan antigen atau rapid test) kepada seluruh pihak terkait proses belajar mengajar.
    • Positivity rate harus di bawah 5% (sesuai standar WHO).
    • Ada SOP yang jelas dan orientasi SOP dulu kepada orang tua dan siswa.
    • Ada rencana mitigasi yang jelas jika: ada siswa/guru/keluarga yang berkontak erat/bergejala/terkonfirmasi positif (harus melapor ke mana, tracing jelas dan cepat).
    • Komitmen, keterbukaan, kejujuran, kerja sama seluruh stakeholders PTM (guru, ortu, siswa, dll) untuk disiplin menjalankan prokes di dalam dan di luar sekolah, mau jujur dan kerja sama menyampaikan informasi jika baru dari luar kota/kontak erat/bergejala/terkonfirmasi positif agar bisa dilakukan mitigasi dengan cepat.
    • Sekolah dilaksanakan dengan sistem bubble (jumlah dan peserta siswa dalam 1 kelas sama, guru pengajar sama, ruangan sama, guru tidak diganti-ganti/dobel mengajar kelas lain, transportasi siswa dan guru terdata).
    • Proses belajar mengajar dilakukan di luar ruangan. Jika harus di dalam ruangan, menggunakan HEPA Filter.
    • Durasi belajar 1-2 jam tanpa makan minum agar anak tidak buka masker.
    • Semua vaksinasi yang harus diberikan pada anak, sudah lengkap diberikan termasuk vaksinasi influenza.
    • Semua anak yang memiliki komorbid tidak belajar tatap muka dulu.
    • Adanya opsi belajar online dan tatap muka, serta siswa memiliki hak dan perlakuan setara dari sekolah terlepas dari metode belajar yang dipilih (online/tatap muka).
    • Adanya informed consent dari pihak sekolah kepada orang tua siswa.
  4. Orang tua agar menjadi “ortu pandemi” artinya, lebih meningkatkan peran sebagai orang tua dengan mengedukasi anak terkait Covid-19, resiko, dan cara pencegahannya (protokol kesehatan 5M), memberi contoh disiplin prokes yang benar kepada anak, extra effort mendampingi belajar anak di masa pandemi ini.
  5. Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan apakah ingin sekolah PTM kembali atau tetap online. Ortu berdialog dengan anak mengenai perasaan, keinginan, kesiapan si anak, termasuk pemahamannya akan situasi yang sedang terjadi, resikonya, dll (berhubungan sama poin no. 4 –> kalo ortu edukasinya ke anak tidak benar, otomatis pemahaman anak ikut tidak benar dan pengaruh dengan hasil dialognya dengan anak terkait kesiapannya ikut PTM).
  6. Menjauhkan anak-anak dari kerumunan yang tidak perlu (nge-mall, makan di resto, nongkrong di kafe, ke tempat wisata, dll).

Oh ya, checklist rekomendasi IDAI terkait penyelenggaraan sekolah PTM ini bisa dibaca dan diunduh di website IDAI berikut ya. Untuk link rekaman sesi IG Live bersama Prof. Aman Pulungan bisa cek langsung di sini.

Buat saya, menjadikan Prof. Aman Pulungan sebagai salah satu sumber informasi tentang kesehatan anak terutama di masa pandemi adalah hal yang tepat dan menenangkan. Gimana enggak, beliau yang mengepalai ikatan dokter anak tidak hanya di Indonesia tapi juga di Asia Pasifik. Credential-nya sudah tidak diragukan lagi dan saya tipe yang percaya sama dokter lawas, integrity dalam memegang sumpah dokternya bisa saya percaya. This (children’s health) is his turf. He holds the health and wellbeing of children as his best interest.

***

Picking My Brains Out…

Berdasarkan paparan data-data di atas, ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan saat online meeting. List pertanyaan ini mungkin bisa dipakai sebagai acuan pertanyaan buat Moms yang sekolah anak-anaknya juga sedang merencakan PTM di tahun ajaran mendatang ya.

Seberapa besar keyakinan dan kepercayaan diri pihak sekolah untuk menyelenggarakan PTM di tahun ajaran baru nanti? Pertanyaan ini saya ajukan based on data report UNICEF dibandingkan dengan hasil pelaksanaan PTM di beberapa negara Asia Tenggara (Vietnam, Malaysia, Singapore).

  1. Bagaimana komitmen stakeholders terkait untuk disiplin menjalankan protokol kesehatan 5M, terbuka, jujur, dan proaktif jika baru saja bepergian dari luar kota/bertemu kontak erat/mengalami gejala/terkonfirmasi positif?
  2. Pertanyaan terkait SOP di sekolah jika PTM diadakan:
    • Bagaimana jadwal desinfektan area sekolah?
    • Anggota Satgas Covid-19 sekolah siapa dan apakah jumlahnya berbanding dengan siswa?
    • Bagaimana antisipasi untuk kerumunan siswa yang belum dijemput sepulang sekolah?
    • Bagaimana antisipasi munculnya abang jualan di sekitar sekolah? Jika tahu sekolah sudah mulai, pasti abang jualan akan kembali, karena market-nya ‘kan anak sekolahan sedangkan mereka belum tentu sudah divaksin/disiplin prokes.
    • Bagaimana perlakuan terhadap siswa yang memilih untuk tetap belajar secara daring? Bagaimana metode belajarnya? Cara berkomunikasi dengan guru? Grading/Penilaian akademisnya?
    • Disebutkan bahwa kapasitas kelas 25%-50% atau 18 siswa, berapa jumlah siswa yang akan dialokasikan per kelas (karena jumlah seluruh siswa per kelas sekitar 15 orang). Akan mengikuti batas minimal (25%) atau bagaimana?
  3. Masukan untuk pelaksanaan PTM agar mempertimbangkan rekomendasi dari IDAI dan mengontak IDAI daerah untuk konsultasi/pendampingan persiapan penyelenggaraan PTM. Bagaimanapun juga IDAI ini spesialisasi dan interest-nya di anak, bukan masyarakat in general sehingga harusnya bisa lebih fokus dan spesifik dalam memberi panduan. Saya juga sempat menyampaikan poin-poin penting terkait syarat PTM yang disampaikan Prof. Aman Pulungan pada sesi IG Live sekaligus memberikan link website IDAI terkait checklist lengkap rekomendasi PTM dari IDAI.

Dari pertemuan online ini ada beberapa masukan yang disampaikan orang tua siswa dan saya pun setuju banget, apalagi beberapa ortu yang menyampaikan masukan itu berprofesi sebagai dokter. Pihak yang menguasai permasalahan. Di antaranya: form screening dilakukan secara berkala sebelum siswa masuk sekolah agar monitoring bisa lebih ketat, mengurangi kapasitas kelas menjadi 10 atau bahkan 5 siswa saja untuk menghindari anak-anak berkerumun (anak-anak kecil, sudah setahun lebih tidak bertemu langsung dengan teman-temannya, euforia dan lupa protokol…), mendetailkan jenis masker yang dipakai siswa yaitu masker medis (instead of masker kain warna-warni lucu).

***

Final Thoughts

Pelaksanaan sekolah PTM masih dihadapkan dengan tantangan besar dan penuh dilema. Dari data yang adapun sudah terlihat pattern-nya. Pattern ini terjadi tidak hanya di negara-negara tetangga namun juga di berbagai wilayah Indonesia, yang telah terlebih dahulu mencoba menyelenggarakan sekolah PTM.

Sekolah dibuka untuk tidak lama kemudian ditutup akibat adanya penularan Covid-19 di area sekolah tersebut. Adanya penularan tersebut membentuk kluster sekolah. Root cause terjadinya penularan tersebut adalah adanya hari libur/hari raya yang mengakibatkan peningkatan mobilitas masyarakat (baik untuk berlibur/berwisata, ataupun mudik/bertemu keluarga) yang dibarengi dengan sikap tidak disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan lainnya yaitu: memakai masker, menjaga jarak, VDJ (ventilasi, durasi, jarak).

Sikap permisif terhadap protokol kesehatan (memakai masker, menjaga jarak, VDJ) terutama jika berada dalam circle yang dirasa akrab/dekat seperti: teman-teman dekat, keluarga (yang tidak satu rumah), teman sekantor, juga merupakan akar permasalahannya.

“Ah nggak apa-apa, sodara/temen sendiri kok…”

Padahal ya… yang namanya virus tidak lihat-lihat ini teman/saudara atau total strangers.

Tahun ajaran baru nantinya akan dimulai Juli 2021, tentunya setelah school break alias libur panjang anak sekolah. Melihat dari pola yang ada selama ini di masyarakat, bukan tidak mungkin banyak orang tua yang akan mengajak anaknya berwisata/berlibur/ke luar kota atau sekadar nge-mall saat libur panjang tersebut. Anak di-expose pada lingkungan yang ramai dan tidak terukur standar kesehatannya, sehingga memperbesar resiko terjadinya penularan. Belum lagi penyelesaian carry over kasus dari Idul Fitri yang sekarang sedang berlangsung. Padahal, nakes dan RS jumlahnya terbatas, distribusi vaksin pun belum merata, plus… anak-anak belum mendapat izin untuk diberi vaksin.

I do hope that people, especially parents fully realize that this is a chain reaction/domino effect situation. Mungkiiiiiiiiiiiiiiiin sebagian anak akan baik-baik saja jika terpapar Covid-19, namun jangan lupa, di rumah ada orang tua (Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, dst) atau anggota keluarga lainnya yang bisa saja memiliki komorbid dan daya tahan tubuh lebih lemah. Bisa jadi ada teman-teman sekolah ataupun guru dengan kondisi tersebut, sehingga rentan tertular.

No choice is better than the other.

Saya pun memahami posisi sekolah sebagai sebuah institusi yang berada di bawah instruksi pemerintah. Sekolah terikat regulasi, sehingga mau tidak mau, jika memang regulasi dan kebijakan pemerintah menyatakan agar sekolah kembali membuka PTM, hal tersebut harus dilakukan. Terlepas dari bagaimana hati kecil/conscience pimpinan sekolah dan team-nya. Jika ditarik lebih jauh lagi, saya bisa memahami pemerintah and the entire system dihadapkan pada buah simalakama: tidak ada opsi yang 100% menyenangkan.

Begitu juga dengan opsi mau sekolah online atau kembali PTM. Sekolah online memang relatif lebih aman bagi anak-anak: menjauhkan mereka dari kerumunan sehingga diharapkan potensi tertular pun menurun. Meski demikian, memang ada handicaps dari pembelajaran secara online atau daring ini. Pembelajaran secara online menuntut anak untuk lebih mandiri dan proaktif. Guru tidak bisa menjelaskan, mengobrol, melakukan tanya jawab leluasa seperti pertemuan tatap muka. Keterbatasan ini membuat anak harus punya inisiatif untuk mempelajari sendiri materi pelajarannya sebelum/sesudah online dengan guru, supaya lebih paham. Anak juga dituntut untuk bisa aktif mencari informasi-informasi tambahan untuk memperdalam materi pelajarannya, misal dengan google search (untuk memilih search result dari web yang reliable informasinya itu harus diajarkan ke anak, supaya anak tidak asal mengutip informasi). Nah, untuk anak-anak usia SD, hal ini tentunya tidak mudah dilakukan. Lha wong yang sudah kuliah aja kadang suka ngasal, apalagi anak SD. Ditambah lagi, pendampingan ekstra dari orang tua sangatlah dibutuhkan. Sementara komunikasi dengan guru terbatas, siapa lagi yang bisa mengajarkan materi ke anak-anak jika bukan ortunya?

Buat ortu yang stay at home seperti saya, iya betul ada kesempatan untuk melakukan itu. Saya sudah bukan anak kantoran lagi, artinya saya sudah tidak terikat target pekerjaan dan keharusan untuk berada di kantor selama 9 jam plus 2 hours of commuting time. Meski demikian, ya ada juga lah tantangannya: time, energy, and patience management benar-benar dibutuhkan untuk bisa monitoring dan mengajari anak-anak, while running the household in between dan sedikit-sedikit menyisipkan waktu untuk diri sendiri. Apalagi saya orangnya detail dan perfeksionis: dua variabel yang bikin kepala makin pusing!

Kadang anak-anak bosan, cranky sendiri karena merasa nggak paham-paham padahal sudah dijelaskan bolak-balik, atau keburu pingin main karena nggak betah harus disuruh duduk lagi setelah berjam-jam sekolah online. As a parent and teacher figure at home, saya juga harus belajar lagi (ya ‘kan lulus SD udah puluhan tahun lalu ya hahaha) untuk me-refresh penguasaan materi pelajaran dan juga menjawab pertanyaan anak-anak yang kadang suka ajaib. Anak saya kalo nanya suka nguber! Tidak cuma urusan belajar akademis, PR ortu selama anak sekolah online adalah mencarikan variasi kegiatan agar mereka tidak jenuh.

I have 3 kids yang berbeda jenjang walaupun sama-sama kecil. Ketiganya punya karakteristik berbeda dalam  belajar sehingga saya tidak bisa asal getok satu metode buat mengajari mereka bertiga. My youngest, karena sedang gap year, otomatis harus lebih intensif pendampingannya karena ia sepenuhnya belajar sama saya. Setting target saya untuk anak-anak tinggi. Dalam mencarikan variasi kegiatan di rumah pun tricky: berasa sedang mengayuh sepeda. Di rumah, kami menerapkan no gadget & limited screentime policy. Harus terus-terusan peras otak agar anak-anak tidak void dari kegiatan yang ujung-ujungnya membuat mereka nonton TV atau merengek karena bosan. Pegel sendiri dan merajuk sama suami sudah bolak-balik saya lakukan selama pandemi ini hahaha.

Bisa saya bayangkan orang tua yang WFH ataupun sudah sepenuhnya WFO. Harus ninggalin anak usia SD yang lagi belajar online di rumah. Sudah capek pulang kerja, masih harus cek assignment dan mengajari anak-anaknya. I can understand jika ujung-ujungnya, sebagai jalan ninja untuk mengatasi lelah, bosan, mentok mencarikan anak kegiatan selama di rumah, anak-anak diberi akses lebih untuk bermain gadget, nonton Youtube, dan mungkin sekaligus berkata dalam benak,

“Coba belajarnya di sekolah aja, nggak ikutan pusing hiks…”

Hehehe.

Problem besar lainnya adalah bagi anak-anak yang tidak bisa memperoleh akses belajar online, karena berbagai alasan: faktor ekonomi sehingga tidak dapat menyiapkan gadget dan jaringan internet, terletak di daerah yang terpencil sehingga jaringan tidak menjangkau, serta tidak adanya figur dewasa di lingkungan terdekatnya yang punya kapasitas membantu si anak untuk belajar.

Saya tidak akan heran jika selama pandemi ini, kualitas penyerapan dan penguasaan materi belajar si anak jadi berkurang. Belajar di sekolah adalah kombinasi dari menguasai materi pelajaran, melatih soft skill, dan membangun karakter anak-anak. Dengan bertemu dengan teman-temannya, anak-anak belajar untuk bergaul dan berkomunikasi. Berusaha menguasai materi pelajaran di sekolah juga berguna untuk mengasah resilience dan problem solving skill si anak. Mengejar target nilai sendiri adalah latihan untuk anak jadi sosok yang memiliki integrity, daya juang, bertanggung jawab menyelesaikan amanahnya, kuat mental, dll.

Namun, mengijinkan anak-anak kembali ke sekolah berarti memperbesar resiko mereka dan lingkungan sekitarnya terpapar oleh si virus. Really, no choice is better than the other.

To be able to conduct a successful school opening needs a conscious collective effort.

Stakeholders sekolah harus sama-sama: sepaham, seiya, sekata dalam menyikapi kondisi lapangan dan kebijakan yang akan ditempuh. Stakeholders ini siapa saja sih? Ya semua yang terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah itu dong. Manajemen sekolah, guru, karyawan sekolah seperti admin, security, dan cleaning service, serta siswa sekolah beserta ortunya.

Stakeholders ini harus berkomitmen untuk menjalankan protokol kesehatan 5M dengan disiplin, di dalam dan di luar sekolah, setiap saat (jujur aja saya ragu sama kemampuan berkomitmen ini…). Nggak pakai diskon!! Misal, lagi ngumpul sama sahabat dekat nggak apa-apa deh copot masker hahahihi, dll. Seluruh SOP terkait PTM harus dibuat se-detail mungkin dan tentunya ada orientasi atau tutorial terlebih dahulu bagi siswa dan ortunya. Selebihnya, ya saya benar-benar berharap jika pihak sekolah akan menyelenggarakan PTM kembali, poin-poin penting dari rekomendasi IDAI benar-benar dilaksanakan.

Saya berharap, nantinya keputusan yang diambil orang tua dalam menentukan, apakah anak-anaknya boleh mengikuti PTM atau tetap di rumah, sudah didasari dengan pertimbangan matang. Melihat data dan fakta yang ada di lapangan. Bukan sekadar:

“Ya udah sekolah lagi aja capek Mama ngajarin di rumah berantem melulu…”

“Mending anak balik ke sekolah aja, daripada di rumah, belajar nggak, main gadget melulu.”

Orang tua dan pihak sekolah harus benar-benar weighing the risks of conducting PTM before deciding upon it.
Our kids are our responsibility.

As parents, we can never blame other parties if something happened to our children. The all around wellbeing of our children is our sole responsibility. 

I also understand, that each parent has different approach and values in nurturing their children. Nevertheless…

for the time being, we decide not to send our kids to school for PTM.

Bagi kami, besaran resiko mengembalikan anak-anak untuk PTM lebih tinggi ketimbang (mohon maaf) manfaatnya. Pertimbangan utama tentunya adalah kesehatan anak-anak dan our entire family. Kapasitas anak-anak saat ini untuk menjalankan protokol kesehatan dengan benar tanpa pengawasan orang tua juga merupakan faktor yang kami pertimbangkan.  We already have people we know, be it relatives or friends, who got Covid-19 and it was not easy nor pretty. 

I admit, yes, it is not easy to manage a household and handling 3 children. I get stressed a lot whenever I see my husband goes to work. Berasa disuruh maju perang tapi tidak bawa pasukan cadangan. Hahaha.

But I would do it all over again and again.

Durasi sekolah normal (sebelum pandemi) anak-anak cukup lama. Jam 13.30 Day dan Dil baru pulang. Setelah membersihkan diri dan berganti baju, hanya ada sekitar 30 menit untuk bertemu anak-anak, sebelum mereka tidur siang. Sore haripun waktu bebas untuk mengobrol tidak terlalu lama, karena after dinner anak-anak sudah masuk kamar untuk belajar sembari saya beres-beres atau nonton bersama suami.

Saat ini adalah momen bagi saya untuk meningkatkan bonding dengan anak-anak. Untuk mengajari mereka disiplin, family values, kebiasaan baikmembentuk karakter sesuai dengan apa yang ada di keluarga kami. Mumpung mereka 24 jam di rumah terus sama saya. Untuk menciptakan lebih banyak memori indah bersama (cieeeee) mumpung anak-anak masih kecil dan masih mau nempel sama Mami dan Abinya.

Sekumpulan bekal yang InsyaAllah akan mereka pakai di masa mendatang.

***

Referensi

https://akurat.co/muncul-klaster-covid-19-di-sekolah-idi-jangan-kaburkan-kenyataan-sekolah-tatap-muka-itu-berisiko

https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19

https://dunia.tempo.co/read/1426781/vietnam-sukses-tangani-pandemi-covid-19

https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/lonjakan-kasus-covid-19-pasca-libur-lebaran-2021

https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/kasus-covid-19-masih-tinggi-idai-jatim-keberatan-sekolah-dibuka-lagi-1vvCWp3QUJP/full

https://nasional.kompas.com/read/2021/04/26/19591641/kpai-klaster-covid-19-sekolah-muncul-setelah-gelar-pembelajaran-tatap-muka?page=all

https://nasional.kompas.com/read/2021/06/09/15541041/satgas-tiga-minggu-pasca-lebaran-kasus-covid-19-naik-534-persen?page=all

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5602449/dapat-limpahan-dari-bangkalan-kasus-covid-19-per-hari-di-surabaya-melonjak

https://regional.kompas.com/read/2021/06/12/174917978/pulang-dari-jakarta-sekeluarga-terpapar-covid-19-dan-menulari-16-orang-di?page=all

https://tirto.id/update-covid-indonesia-dunia-9-juni-kasus-aktif-ri-nyaris-100-ribu-ggGC

https://www.channelnewsasia.com/news/asia/indonesia-new-covid-19-cases-virus-variant-java-sumatra-14986772

https://www.channelnewsasia.com/news/asia/malaysia-covid19-schools-home-based-teaching-learning-june-radzi-14958268

https://www.channelnewsasia.com/news/asia/vietnam-shuts-schools-covid-19-outbreak-lunar-new-year-14089004

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210601064655-4-249705/malaysia-resmi-full-lockdown-hari-ini-ri-wajib-waspada/2

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201205104826-20-578322/179-siswa-smk-di-jateng-jadi-klaster-baru-covid-19

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210612174354-20-653547/rs-darurat-covid-surabaya-nyaris-penuh-pasien-madura-dominan

https://www.humanitarianresponse.info/sites/www.humanitarianresponse.info/files/documents/files/201028_eapro_education_response_update_updated.pdf

https://www.idai.or.id/tentang-idai/pernyataan-idai/rekomendasi-ikatan-dokter-anak-indonesia-mengenai-pembukaan-sekolah-di-masa-pandemi

https://www.instagram.com/tv/CP0pt92FZ3_/?hl=en

https://www.jhsph.edu/covid-19/articles/covid-19-testing-understanding-the-percent-positive.html

https://www.kompas.com/global/read/2020/09/23/161313270/vietnam-dianggap-berhasil-tangani-gelombang-kedua-covid-19-apa-yang-bisa?page=all

https://www.nst.com.my/news/nation/2021/01/657967/mco-20-no-physical-reopening-schools-jan-20-except-exam-candidates

https://www.nst.com.my/news/nation/2021/04/684020/virus-spike-sparks-schools-closure-call

https://www.nst.com.my/news/nation/2021/04/685627/covid-19-return-online-lessons-after-raya-hols-all-schools

https://www.theedgemarkets.com/article/covid19-83-clusters-education-sector-recorded-49-still-active

https://www.ucanews.com/news/vietnam-closes-schools-after-covid-19-outbreak/91289

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5607158/warning-positivity-rate-covid-19-surabaya-naik-jadi-9-persen

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210613175853-4-252760/menkes-minta-dokter-siap-siap-lonjakan-kasus-sampai-juli

https://www.thestar.com.my/news/nation/2021/04/30/covid-19-17-new-clusters-four-linked-to-education-sector

https://thediplomat.com/2021/05/as-ramadan-ends-malaysia-begins-its-third-covid-19-lockdown/

https://www.cnbc.com/2021/05/16/singapore-to-shut-schools-as-coronavirus-cases-rise.html

 

Written by Anty

A CR Girl turned stay at home Mom of 3 kids. Missus Heroine is the place where I share my thoughts and journey adapting into my new roles as well as many other things. Here I am, in a journey of becoming the Heroine I want myself to be.

More From This Category

Playtime and Endless Imagination

Playtime and Endless Imagination

Children and their imaginations are two inseparable pairing. I have 3 children with endless imaginations, that they even create a game called “Game Imajinasi“. Basically, Game Imajinasi is whatever adventure/narrative game they create and play around the house using...

read more
Tea Tarik

Tea Tarik

I watch the amount of sugar intake I consume. I don't do strict diet and measuring calories per se, but for most of the time, I try to keep whatever I eat or drink in moderation. Nevertheless, my favorite drinks for all time have been avocado juice, mocha flavored...

read more

0 Comments

0 Comments

Trackbacks/Pingbacks

  1. Life Update: A Whirlwind Ride | Missus Heroine by Anty - […] beberapa minggu ini saya merasa overwhelmed. It all began a few weeks ago when I posted about my views on…

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Drop me your email and I'll slide into your inbox for updates!