PROLOG
Mei 2019.
It was a Saturday afternoon and I was in a rush. Unlike some of my friends, saya tetap ngantor di hari Sabtu. On Saturday, the working hour was only until 01.00 p.m. but usually there were things that came up in a sudden, holding me back from going home: pelanggan yang tiba-tiba datang untuk komplain, Kacab/Supervisor ngajakin diskusi sebuah project, atau persiapan mendadak buat event di hari Minggu.
Well, I wasn’t going home really that day. I already had a plan. Teman-teman CR dan ex-CR di Surabaya punya kebiasaan untuk ngumpul bareng, bisa saat akhir tahun, Ramadhan, ataupun Idul Fitri. Just like that Saturday afternoon in May.
Siang itu kami bersembilan ditambah dengan dua ex-CR, Mba Iin dan Mba Gita janjian untuk makan siang bersama, halal bihalal selepas Idul Fitri. Lokasinya di Kuno Kini, sebuah kafe yang dekat sekali dari rumah saya, cuma 10 menit… namun begitu jauh dari lokasi kantor saya yang berada di ujung Surabaya Barat. Makanya saya ngebut terburu-buru. Traffic Sabtu siang di Surabaya Barat selalu macet total dan membuat durasi perjalanan yang normalnya satu jam bisa menjadi dua jam. Kombinasi weekend dan lokasi yang dekat dengan akses tol bikin jalanan ekstra macetnya di Sabtu siang.
Singkat cerita, kami makan siang bersama. Ngobrol, bercanda, foto-foto. Tak terasa makanan yang kami pesan sudah habis dan waktu sudah mulai mendekati pukul 15.00. Teman-teman CR pun beranjak pulang. Tersisa Mba Rini, Mba Yeni, Mba Gita, dan saya. Kalo dipikir-pikir bingung juga saya kenapa kok nggak pulang-pulang dan memilih untuk duduk ngerumpi sama Ibu-Ibu ini hehehe. Mba Gita sendiri adalah ex-CR, angkatannya di atas Mba Yeni dan dulunya pegang cabang BR. I have met her once a year before, saat kami halal bihalal di rumah Mba Rini.
Obrolan yang dibahas nggak jauh-jauh seputar keluarga karena para senior saya ini sudah berkeluarga. Saya yang masih single ya dengerin aja sambil angguk-angguk. Nabung ilmu dan insight buat di masa mendatang. Hahaha. Lagipula saya kalah ceriwis lah kalo dibandingkan Mba Rini dan Mba Yeni hihihi.
“Git! Temenmu ‘kan banyak, ini lho Anty masih single mbok ya dikenalin barangkali ada yang cocok!”
Tiba-tiba Mba Rini nyeletuk dan langsung diamini oleh Mba Yeni.
“Oh, Anty mau ta tak kenalin? Aku ada temen ini, temen SMA, anaknya baik kok. Anak SMA 5,” jawab Mba Gita.
“Udah Ty, coba aja namanya kenalan, siapa tau jodoh, kalo nggak ‘kan nambah temen,” rayu Mba Rini dan Mba Yeni.
Saya mengiyakan. Part of it biar nggak diledekin terus, while the other part was I thought, “Yeah, why don’t I try this time?”
Menurut standar sosial orang Indonesia, perempuan biasanya menikah di usia mid to late twenties. And according to that standard, I was way overdue. Ya padahal saya masih muda juga ya ‘kan.
Adik sepupu yang sepantaran saya sudah menikah dan punya toddler. Teman-teman sekolah juga demikian. Rekan-rekan kerja yang saat awal bekerja sama-sama fresh graduate and single, gradually found their way into marriage life. Yang dulunya bisa rame-rame bareng, satu per satu berkurang karena sudah sibuk dengan pasangan dan keluarga.
Saya? I do my activities as usual. I go to work and enjoy my independence. Di luar waktu bekerja, jika lelah saya di rumah aja, jika sedang ingin belanja atau jalan-jalan ya saya pergi aja. I like driving around the street or strolling around the mall alone. Hari Minggu jika ingin jalan-jalan, biasanya saya ditemani Ibu. I was fine with that. Malah jalan-jalan sendiri tuh enak, bebas menentukan waktu dan tujuan tanpa harus mempertimbangkan orang lain hehehe.
Pernahkah saya merasa kesepian? Jujur saja tidak. Kesibukan menyita waktu dan pikiran sehingga tidak sempat terlintas perasaan demikian. But that didn’t mean that I felt nothing. Ada beberapa momen yang terkadang membuat saya merasa a little bit left out. Sekali waktu saat bersama keluarga mengadakan kunjungan balasan lamaran Tita, one of my cousins. Sekali waktu saat Lebaran. Bukan karena ditanyain para orang tua tentang pasangan dan target nikah tapi lebih ke arah… berubahnya kebiasaan. Jika dulu saat Lebaran ada waktu di mana kami para sepupu jalan bareng untuk makan atau nonton, sekarang ya tetap ada aktivitas tersebut hanya saja pesertanya berkurang–karena yang sudah menikah sibuk sendiri–atau pesertanya nambah dan asik sendiri meski sedang pergi beramai-ramai. Ya cuma itu aja sih.
Ortu dan juga beberapa teman pernah mengajak saya untuk berkenalan dengan teman mereka, but I always rejected those offer. Nggak lah. Saya merasa it was not the right timing and that was not the right person. Beberapa kali saya juga meragukan kredibilitas orang yang mau mengenalkan. Haha. No offense!
You are who you hang out with. Cerminan karakter seseorang salah satunya adalah dari teman-temannya. Jadi ketika siang itu di Kuno Kini, Mba Gita menawarkan saya untuk berkenalan dengan teman SMA-nya, she told me about his profile, his backstory and so on... saya mengiyakan.
Memang saya belum terlalu kenal dalam secara personal dengan Mba Gita, tapi ada Mba Rini dan Mba Yeni, yang sudah bertahun-tahun berteman dengan Mba Gita. They are good people, they knew her and I trust them.
Melihat sosok Mba Gita, mengingatkan saya dengan satu tante yang paling dekat sama saya, yaitu Tante Indra. Keduanya sudah mengalami fase hijrah (InsyaAllah) dan sudah mendalami ilmu agama (way more than I already did), sama-sama berpakaian syar’i tapi super aktif: gerakannya gesit, banyak aktivitasnya, kalo bicara tegas tapi masih asyik diajak ngobrol. That was an X factor that made me accepted her offer, to introduce her friend to me. I let her gave my number to her friend.
***
I forgot exactly how long. I guessed it was around two weeks after our meeting at Kuno Kini. Nothing happened. There were no words whatsoever from Mba Gita. Saya mau tanya juga antara sungkan dan gengsi ya hahaha. Sungkan mau gangguin, gengsi ntar disangka ngebet amat. I tried to play it cool tapi dalam hati antara gemes dan penasaran.
Suatu siang saat lagi santai-santai kerja, Mba Yeni menelepon saya.
“Say! Gita sudah kabarin kamu belum? ‘Kan katanya mau dikenalin ke temennya,” tanya Mba Yeni.
“Belum tuh,” jawab saya pendek, padahal dalam hati udah gemeees.
“Lho kamu ga tanya sama Gita?”
“Nggak lah! Masa aku tanya duluan ntar disangka ngebet amat ya ogahhh!” jawab saya.
“Say, tanya aja. Gita tuh sibuk dia sering lupa. Atau aku tanyain aja ya? Hehehe,” ujar Mba Yeni.
Ya udah saya iyain aja Mba Yeni untuk menghubungi Mba Gita. Sekali lagi, karena saya gengsi mau tanya sendiri.
Singkat cerita, Mba Gita pun mengontak saya. Ijin untuk kasih nomor saya ke temannya sekaligus minta foto saya. Selanjutnya, kami bertiga berencana untuk ketemuan. Mba Gita sebagai perantara yang akan memperkenalkan kami berdua. Ceritanya mau ta’aruf ‘kan ini. Never have I ever thought that I would eventually use that word. Jadilah saya kirimkan salah satu foto dari post IG saya. Sebuah foto saya bersama dengan rekan-rekan sales yang semuanya laki-laki, saat itu kami sedang terlibat sebuah event outdoor. Sengaja saya beri foto yang itu karena… ya kalau mau kenalan, better let him know sekalian kalau saya kerjanya di tengah banyak laki-laki. Take it or leave it.
Gaya bener. Sejak saya kasih foto ke Mba Gita, deg-degan, perasaan berdesir, serta kesal campur aduk jadi satu. Gimana enggak, hampir dua minggu nggak ada kabar sama sekali baik dari Mba Gita. Dalam hati saya nggerundel, “Ni laki niat gak sih kenalan!”
***
A NIGHT AT A PIZZA JOINT
“Here we are, all of us, basically alone, separate creatures, just circling each other, all searching for that slightest hint of a real connection. Some look in the wrong places, some they just give up hope because in their mind they’re thinking “Oh there’s nobody out there for me,” but all of us, we keep trying over and over again. Why? Because every once in a while… every once in a while, two people meet and there’s that spark…” – Bones TV Series (2007)
20 Juli 2019.
Setelah dua minggu (atau sebulan? Lupa!) saya setor foto ke Mba Gita, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Itu pun pakai acara beberapa kali reschedule dan pindah tempat janjian.
Saya mengajukan syarat kalau mau ketemuan it better be on a weekend. Saya prefer Sabtu siang, tapi somehow karena jadwal saling terbentur, hari Sabtu malam lah jadwal yang kosong untuk ketemuan.
Lokasi ketemuan kami bertiga di Ciputra World. On a Saturday night. Malam yang saya hindarin karena traffic yang cenderung macet dan parkiran di mana-mana selalu penuh. In my dictionary, Saturday night wasn’t the definition of time for leisure. Yang ada malah time for headache. Sebenarnya saya kebelit planning saya sendiri. Awalnya ‘kan saya minta ketemuan Sabtu siang, right after work, makanya saya tentukan lokasi ketemuannya di Ciputra World. Eh ternyata yang bersangkutan berhalangan dan bisanya malam. So I went back and forth ngebut-ngebut dari kantor – rumah – Ciputra World.
Mba Gita mengabari jika ia (plus anak-anak) dan temannya sudah sampai di Ciputra World. I was still on my way.
Saat kami mengobrol di Kuno Kini dulu, Mba Gita sudah menceritakan background profile dari temannya ini. They were highschool friends at SMA 5. He is a widower with 3 small children and he lives with his mother. Kinda gave me a head up of what I was going to dive into. Selebihnya ya bicara tentang latar belakang pendidikan dan pekerjaan. She also said, “Menurutku anaknya ini good looking kok. Nggak neko-neko… tapi kalo penampilan ya ‘kan bisa dipermak ya nanti dirapikan.” Back then, Mba Rini yang paling semangat, langsung minta FB teman Mba Gita ini dan langsung ubek-ubek foto FB-nya. Sementara saya cuma diem aja sambil ngebatin, “Semangat amat mba-mba ku ini!”
Di luar urusan profil, hal terpenting yang membuat saya merasa sreg untuk dikenalkan karena Mba Gita cerita, kalau temannya ini religius. Ibadahnya rajin dan pinter. And that’s the most important thing. Dulu, saat masih remaja atau yaaa awal-awal usia dewasa, bayangan pasangan ideal adalah yang tampan. Yah bener sih, sampai saat itu pun saya ingin punya pasangan yang good looking, bersih, well groomed nggak awut-awutan, plus mapan! Hihihi. Buat saya, how you present yourself to the public tells about how you appreciate and respect yourself as well as the people you interact with.
Seiring berjalannya waktu, I met a lot of people: coworkers, friends, random guys. Banyak yang menerabas aturan, doing everything just to get what they want. Money comes pretty easy in the industry I involved with and that tends to detach people from their supposedly moral high ground. Punya pegangan agama dan iman yang kuat penting sekali. And I wanted that in a partner.
I arrived a bit late at Ciputra World. I still remember, I wore my go to wardrobe which is a black ensemble: black midi dress covered with black cardigan, patterned hijab, black leggings and black bag. Black is the strongest color, said Giorgio Armani. It can influence other colors and overpower them. That’s the meaning of black that I wore the night. A boost to my confidence and a reminder of power.
I stopped by at the toilet to check on my appearance and headed upstairs to the restaurant.
Akhirnya setelah sekian lama, mau juga saya dikenalin ke laki-laki. Deg-degan, nanti orangnya seperti apa ya? Apakah sesuai ekspektasi dan bayangan? Baik atau jangan-jangan arogan? Hmm… kalau dari kejauhan saya lihat nggak sreg, apa saya langsung balik badan aja ya? Hehehe.
***
Sampai juga saya di restoran pizza yang dimaksud.
Say hi dan cipika-cipiki dengan Mba Gita, lalu dari meja sebelah ada seorang laki-laki berdiri menghampiri. Sekilas saya melirik dan memahami apa yang dimaksud Mba Gita. He wasn’t fashionable, rada culun malah menurut kamus saya, rapi tapi bapak-bapak gitu lho penampilannya. Mba Gita memperkenalkan kami berdua lalu kembali duduk di meja yang ia tempati bersama anak-anaknya.
Saya duduk berhadapan dengan teman Mba Gita dan mulai mengamati.
I smiled at him, selayaknya orang yang baru berkenalan… padahal dalam hati kegirangan! Hahahahahaha. You know all the classic English literature I read all these years? There is this one archetypal character called byronic hero: tall, dark and handsome (but also mysterious and brooding). Well, that night a literary character just jumped out of the book I read!!!
Yes, his look and aura was exactly like the byronic hero in those century-old written piece. Was I dreaming?
Sambil pura-pura mengecek HP saya diam-diam WA Mba Yeni. “Wow, Mba, gantenggggg!”
Hihihi.
Kami pun mengobrol. Topik yang kami bahas pun luas, ya selayaknya orang yang sedang berusaha mengenali satu sama lain sih ya. Pembicaraan kami seputar keluarga, pendidikan, pekerjaan, sudut pandang, dan hal-hal lainnya. Dia juga sempat bertanya, apakah saya tahu tentang latar belakang keluarganya: the fact that he is a widower with 3 small children. Yes, I knew and I don’t mind. I decide what I want for my future, not the society.
He is intelligent and mature. I can tell that he is a person brought up well. I can also tell that he was being pragmatic about me. Mengamati dan berpikir sementara saya bercerita atau menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Pikir saya, ah dia sedang menilai saya. Perempuan single masih muda tapi mau berkenalan dengan duda 3 anak. Saya tidak menyalahkan sih kalau dia benar sedang menilai saya. He was looking for a wife and a mother.
Malam itu, saat bertemu dengannya, ada perasaan berbeda. Senang, penasaran, dan berdebar itu wajar namun ada satu lagi yang saya rasakan. Saya merasa plong. I felt like something heavy was lifted. I felt like I saw a light at the end of a tunnel. All the what ifs, maybes and buts yang biasanya muncul di benak untuk mengkritisi laki-laki yang diproyeksikan menjadi pasangan hilang. Tidak terlintas di pikiran saya sama sekali. Bawaan kepingin kabur, kepingin cepat-cepat menyudahi pembicaraan juga tak terasa. He felt like a right thing, undoubtedly without reasons and this could go somewhere.
I ran out of words to describe how I felt the night I met him for the first time. Perhaps that was how it should feel when you met the one destined for you. Terasa sekali perbedaannya dengan masa-masa crush jaman teenager and early twenties where I could describe what I liked (or disliked) about a guy. I didn’t date but hey I had a crush or two back then. I thought, perhaps the movie cliche was right: after a series of meeting the wrong person, one would actually know when she eventually met the right person.
Cukup lama kami mengobrol, sekitar 2 jam mungkin ya. Selama itu pula saya cuma makan potato wedges padahal saya suka banget pizza! Khawatir repot sendiri dan belepotan akhirnya saya cuma makan kentang sampai malam, padahal kelaparan. Hahaha.
Jam menunjukkan pukul 21.00. We parted.
I liked him since the very first sight.
I thought that night, “He might be the one. I think he’s the one.”
0 Comments