Hello, my blog.
Niat hati saya ingin konsisten update di blog ini, namun apa daya, life happens. Busy at most time, sehingga waktu dan energi untuk menulis sering tak tersisihkan. Yaaaaa walaupun sekarang sudah jauh lebih mending yaaa ketimbang saat masih ngantor dulu, 7 tahun kerja cuma update blog mungkin setahun sekali… cerita-cerita seputar pengalaman event juga ujung-ujungnya banyak yang di-back date! Hehehe.
Anyway, everyone who knows me (for a certain length of time) tahu jika saya konsisten mengidolakan (hmm… I’m not really comfortable with using the word “mengidolakan” but let’s just go with it) dua sosok perempuan: Anna Wintour dan Victoria Beckham. Hahaha. Sorry, not sorry for admitting it! Sedikit intro ya… siapa yang tidak tahu Victoria Beckham? Sejak pertama kali nonton video klip Spice Girls di MTV (jaman MTV tayang di ANTV!) I was hooked on her. Saat itu saya masih kelas 3-4 SD. Compared to the other girls, she was the one who really embodied her title “Posh”, nggak cuma sekadar title heboh-hebohan agar mudah diingat fansnya and throughout the years she is the only girl who is consistent in her branding: evolving yet staying relevant for 20 years (from Posh Spice, to Queen of WAGs, from dark hair and black Gucci dress to tanned skin and hot pants, to pixie cut blonde and tight fitting dress and eventually to a polished and demure designer look as we see her these days!). As one of the Spice Girls dulu, she wasn’t even the lead singer. Tugasnya jadi backing vocal dan joget-joget di belakang. Di saat teman-teman lain mengidolakan Baby Spice atau Ginger Spice, terkadang saya bertanya-tanya kok cuma saya sendirian yang demen sama Posh Spice. Hihihi. As it turned out, ketika era girlband mulai berlalu, she was able to reinvent herself over and over again. Sering diledekin media karena eksperimen penampilannya selama jadi Queen of WAGs eventually she became the most successful of the Spice Girls serta berhasil mewujudkan “cita-cita”nya jadi legitimate fashion designer.
Sudah menjadi hal yang umum jika selebritis mendadak punya brand fashion, tapi mostly just put their name on the label and didn’t really involve in the designing process. Dari artikel yang pernah saya baca, meski Victoria tidak memiliki latar belakang desain fashion namun sedikit banyak she has the knowledge dari pengalaman bertahun-tahun berinteraksi dan memakai karya-karya desainer, juga mengerjakan proyek-proyek kolaborasi dengan desainer. She designed her clothes by draping the fabric around her body and explained to the head designer (the one who can draw and has the education). Di gelaran perdananya, she did it the old-fashioned way dengan duduk di antara para undangan yang hadir dan menjelaskan satu per satu karya yang ditampilkan. A way to tell the audiences that she really meant it. When she started out her career as a fashion designer, she never had her husband and family attended her show. From an article that I read somewhere, at the time, she was still building her fashion brand, and attempting to attain acknowledgement from the industry without being overshadowed by David Beckham. Ada artikel dari The Guardian yang menarik buat dibaca tentang Victoria di sini dan di sini.
As for Anna Wintour? Summary dari biografinya bisa dicek di sini ya. She is the daughter of London Evening Standard’s editor, so journalism has been familiar to her since early age. And so was her interest in fashion. Film dokumenter yang saya gunakan sebagai obyek penelitian skripsi dulu, The September Issue, sedikit banyak memberikan gambaran profil dan sepak terjang Anna Wintour sebagai Editor-in-Chief American Vogue: majalah fashion paling berpengaruh di dunia.
Seorang Editor-in-Chief melakukan supervisi dan approval atas konten majalah yang dipimpinnya. Nah, Anna Wintour goes beyond that. She has influence over the entire fashion industry: she can make or break someone’s career in the fashion industry. Her endorsement over a certain model/designer/photographer/celebrity etc will guarantee prominence and success for that person. Saat krisis global 2008 (Ingat film The Big Short?) She initiated Fashion’s Night Out, semacam bazaar yang diadakan serentak di kota New York dan kemudian merambah ke kota-kota lainnya untuk membangkitkan geliat penjualan retail dan industri fashion. For years, she has been the chairman of Metropolitan Museum of Arts’ Met Gala, sebuah malam gala untuk menggalang dana bagi kurasi fashion di Met Museum. People and the media call the event as the Oscar of fashion industry… or even bigger since she managed to mix people from various industry into one place: entertainment, fashion, business, politics, etc. Yup, jika dilihat dari aspek jurnalistik, memang apa yang dilakukan oleh Anna sudah melampaui lingkup pekerjaan seorang Editor-in-Chief yang harusnya menjadi pelapor fakta dan pihak netral. Namun, jika dilihat dari konteks sebagai business woman, she is clearly an influential visionary. She builts a cross-industry network and ensure the magazine she runs and the industry it covers thrive. Ada sebuah artikel Wallstreet Journal dan The Guardian yang kira-kira menggambarkan sosok dan sphere of influence dari Anna Wintour.
Both Victoria and Anna have their signature style, which I love…but beyond that, these two women have more valuable things in common. They have determination and hardwork to reach what they’re aiming at: dream, goal, atau cita-cita, you name it.
Tentunya tidak hanya Victoria dan Anna, sosok perempuan yang sukses mewujudkan cita-cita mereka dan mampu bertahan. Why them? Ya karena saya suka fashion! The vast possibility of creation, of play with colors, shapes, and textures, of turning a concept into reality is mesmerizing to me.
Teringat semalam saat kami sedang dinner, suami saya bercerita tentang salah seorang temannya yang bekerja di video game company di Jepang. Pekerjaannya mendesain video game. Suami saya bercerita, bahwa pada satu titik, temannya ini merasa jenuh dengan pekerjaannya (yang merupakan passion dia) dan memutuskan untuk beralih profesi. At that point, Dil tiba-tiba nyeletuk, “Oh… temennya Abi ganti cita-cita ya?”
Hahahahaha.
Sebenarnya Dil ini pintar mendeduksi kok, cuma memang rangkaian kalimat yang dia gunakan untuk menyatakan deduksinya ini yang sering kali out of the box!
“Ganti pekerjaan, Dil… bukan ganti cita-cita. Cita-cita (passion) -nya ya tetap video game,” jawab suami saya.
Jika memaknai cita-cita sebagai passion, maka yang pernah saya alami juga tidak jauh berbeda dengan teman suami saya ini (agak kebalikannya sih ya). Cita-cita nggak sama dengan pekerjaan. Pekerjaan? Customer Relations. Cita-cita? Well, sejak dulu saya suka menulis and I like creating new things. Dulu saat SMA pernah belajar menjahit, tapi cuma sebentar pas libur sekolah… belum sempat praktik, eeeeh udah keburu masuk sekolahnya. Kapur jahit saya dari jaman les dulu masih ada sampai sekarang dan baru-baru ini saya pakai.
Di rumah ada mesin jahit imut berwarna pink. I saw the sewing machine and it was like a divine sign. Perhaps it is about time for me to learn what I always wanted to learn and do! Bikin baju! Dulu belajar jahit belum keturutan sampai tuntas, belajar gambar-gambar desain baju juga terbengkalai karena kesibukan ngantor. Not that I have lots of spare time now, tapi yaaa… lebih ada fleksibilitas lah ketimbang saat masih terikat perusahaan.
Tapi yaaa.. namanya manusia memang gampang tergoda sama “mager”. Hampir setahun menikah (dan memandangi mesin jahit pink yang imut ini…) mesin jahit belum terjamah sedikitpun, selain dilap-lapin debunya! Hahaha. Hingga pada suatu sore, saya habis beli dress rumah banyak tapi ketiaknya pada kegedean semua. Awalnya saya jelujur aja pakai tangan, tapi kok jelek dan abis dicuci yaaa lepas lah itu jahitan. Akhirnya the next weekend, berdua sama suami, kami sama-sama belajar buku panduan mesin jahit dan nonton video tutorialnya. Alasannya mengajak suami? Biar bisa quality time bareng (halah) dan karena suami saya orang teknik, udah biasa baca manual sedangkan saya ga betah hahhaha. #alasan.
Anyway inilah hasil percobaan pertama saya: cover mesin jahit yang colorful dan centil. Cover asli mesin jahit ini, seperti tipe mesin jahitnya: Singer Simple. Cuma spunbond abu-abu muda berbentuk sesuai dimensi mesin jahit. Terus bosan ‘kaaan suram amat ya kalo dipandangi… terpikirlah untuk membuat cover yang lucu, centil, colorful. Berbekal ilmu yang saya ingat dari hobi jahitin baju: kain diukur, dibuat polanya, terus baru dijahit mulailah saya melakukan percobaan. Membolak-balik cover mesin jahit untuk melihat bentuk potongan kainnya bagaimana, terus saya ukur, bikin pola miniatur dulu di kertas kecil lalu lanjut di kertas besar. Pesen kain via Shopee. Potong kain sesuai pola dan… membiarkan kain tersebut selama 2 bulan. Hahaha. #mager
Dua hari yang lalu, sekali lagi karena saya habis beli dress rumah yang ketiaknya kegedean, maka terselesaikanlah proyek mangkrak ini!
Lucu ‘kaaan? Yah pokoknya tolong jangan dibalik ke sisi buruk kainnya ya, karena bakal keliatan teknik menjahit saya yang masih acak adut! Wong mau bikin ruffles aja lihat tutorial dulu di Youtube! Hahaha… tapi saya senang, akhirnya keturutan mainan mesin jahit dan jadi semangat untuk mencoba membuat yang lain-lain lagi! Terlebih lagi karena selama dua hari saya menjahit, saya dikejar-kejar melulu sama Dza…
“Mami, ini pom-pomnya lucu!” ujar Dza menghampiri saya,
“Gak boleh diminta, ini punya Mami,” jawab saya curiga.
“Uuuuh… aku bosan bajuku itu-itu terus,” lanjut Dza (masih usaha).
“Kenapa emangnya?” pancing saya.
“Seandainya bisa dipasangin pompom lucu ini…” (mulai jurus rayuan).
“Memangnya mau dipasang di baju yang mana siiih…” pancing saya lagi.
“Semuanya Mami!” jawab Dza kenceng.
Yeeeeeeeee bocaah.
Belum selesai saya menjahit, cover mesin jahit diambil sama Dza dan mau dimasukin lewat kepalanya.
“Eeeeeeeeeh itu bukan bajuuu! Itu bajunya mesin jahiiiit,” seru saya kaget.
“Aaaah kirain baju buat aku! Huuuh nggak seruuuuu…”
Jadi, bisa ditebak ‘kan next project saya mau mencoba bikin apa?
Wahahahahaha.
0 Comments