Film Dokumenter The September Issue, di Balik Layar Majalah Fashion

by | Apr 21, 2022 | Culture, Journal, Ramadhan Journal | 0 comments

“I think what I often see is that people are frightened of fashion. And that because it scares them, or it makes them feel insecure they put it down. On the whole, people that say demeaning things about our world, I think that’s because they feel in some ways, excluded or you know, not part of the cool group or… So as a result, they just mock it. Just because you like to put on a beautiful Carolina Herrera dress or a pair of J. Brand blue jeans that, you know, instead of something basic from K-Mart, it doesn’t mean that you’re a dumb person. There is something about fashion that can make people very nervous.”

Pernyataan Anna Wintour, editor in chief majalah US Vogue tersebut merupakan opening film The September Issue, sebuah film dokumenter yang mendokumentasikan proses penyusunan majalah US Vogue edisi bulan September 2007.

Secara keseluruhan, film dokumenter ini mengikuti perjalanan Anna Wintour, editor in chief US Vogue bersama timnya menghadiri beragam fashion week, melakukan meeting editorial, mengunjungi para desainer untuk melihat preview karya mereka sebelum di-launching sekaligus memberikan pendapat akan karya mereka, photoshoot, dan serangkaian kegiatan lainnya. Keseluruhan aktivitas ini merupakan rangkaian dari proses penyusunan sebuah edisi majalah fashion. US Vogue edisi September 2007 ini pun sangatlah spesial.

“September is the January in fashion.” Candy Pratts Price, US Vogue Executive Director.

September menandai dimulainya musim fashion. Musim fashion sendiri dibagi 2, yaitu Autumn/Winter dan Spring/Summer. Majalah edisi September sendiri mengulas bakal tren Autumn/Winter di tahun mendatang. Musim Autumn/Winter dianggap sebagai awal tahun dalam kalender fashion. Edisi September 2007 US Vogue adalah yang terbesar sepanjang sejarah penerbitan majalah tersebut, yaitu setebal 840 halaman.

Scene lalu berlanjut menunjukkan Wintour datang memulai harinya di kantor US Vogue. Tampak suasana kantor. Beberapa staf mengecek hasil pemotretan, mempersiapkan pakaian-pakaian yang akan digunakan pemotretan, serta melakukan rapat redaksi. Candy Pratts Price, Executive Director US Vogue tampak berkata, “You belong to it, you belong to this church.” Terdengar suara kru film bertanya, “And is it fair to say that Anna is the high priestiest of all of us?” Pratts Price lalu menjawab, “I would say Pope.”

“She sees her role as the director and producer of this fashion world,” ujar Tom Florio, Vogue publisher. Terdengar suara kru film lalu bertanya, “Can you think of an aspect of the fashion industry that she isn’t somehow involved in?”

“No.”

Rangkaian adegan pembuka di atas menggambarkan premis film The September Issue: betapa pentingnya majalah US Vogue dibandingkan majalah fashion lainnya serta sphere of influence dari sang pemimpin redaksi, Anna Wintour. Film ini dirilis sudah cukup lama yaitu pada 2009, namun bagi saya yang menggemari dunia fashion film ini masih memiliki daya tarik. Apa sih signifikansinya sebuah majalah fashion dan pemimpin redaksinya, hingga dibuat film dokumenternya?

Majalah US Vogue & Anna Wintour

Melalui film ini kita dibawa untuk melihat di balik layar proses penyusunan sebuah edisi majalah fashion paling berpengaruh di dunia yaitu US Vogue. US Vogue pertama kali terbit pada 1892 sebagai sebuah majalah mingguan mengenai kaum elit dan fashion. Pada 1909, Conde Nast membeli majalah tersebut dan mengubahnya full menjadi majalah high fashion. Di bawah kendali Edna Woolman Chase, editor in chief pertama sejak diakuisisi Nast, US Vogue menetapkan diri sebagai arbiter of taste di bidang fashion. Sejak saat itulah persaingan antara US Vogue dan Harper’s Bazaar yang lebih dahulu muncul dimulai. Kepemimpinan US Vogue sempat dikalahkan Harper’s Bazaar pada 1934-1962. Saat itu Bazaar dipimpin oleh Carmel Snow dengan fashion editor Diana Vreeland. Snow adalah sosok ikonik karena sebuah fashion show tidak akan dimulai sebelum ia datang karena para desainer dan rumah mode percaya bahwa Snow memiliki kekuatan untuk membuat karir seorang desainer maju ataupun berakhir. Kalangan pers di Amerika mendeskripsikan Snow sebagai The High Priestess of Fashion, sebuah julukan yang kemudian juga pada Anna Wintour, editor in chief US Vogue sejak 1988-sekarang!

US Vogue kembali mengungguli Bazaar ketika Diana Vreeland pindah dan menjadi editor in chief di sana pada 1963. Majalah ini menjadi inovatif fashion and aesthetic wise. Resesi 1971 membuat Vreeland diganti oleh Grace Mirabella. Penjualan US Vogue meningkat, namun sayangnya US Vogue menjadi monoton secara estetik. Keberadaan US Vogue juga terancam karena munculnya majalah Elle milik kelompok media asal Perancis yang sirkulasinya cukup besar untuk ukuran majalah baru. Maka, tahun 1988 digantilah Mirabella dengan Anna Wintour!

Di bawah kepemimpinan Wintour, US Vogue memimpin sebagai majalah fashion dengan pendapatan dan sirkulasi tertinggi mengalahkan dua rivalnya tersebut.

Wintour sukses mendongkrak karir desainer-desainer baru saat itu seperti John Galliano dan Marc Jacobs. Sejak 2003, Wintour bekerja sama dengan Council of Fashion Designer of America (CFDA) mengadakan Fashion Fund, ajang kompetisi untuk menggali bakat desainer muda. Krisis global pada 2009 memberikan dampak besar bagi industri fashion dan majalah di Amerika. Wintour pun bekerja sama dengan walikota New York kala itu, untuk mengadakan Fashion’s Night Out, melibatkan tak hanya desainer namun juga selebritis, model, dan musisi. Kegiatan tersebut dikemas dalam format karnaval untuk mendorong masyarakat kembali berbelanja sebagai bentuk dukungan dari sektor fashion untuk memulihkan perekonomian pasca krisis global. Tak hanya itu, sejak 1999 hingga sekarang, Wintour bertindak sebagai ketua penyelenggara event tahunan Met Gala, sebuah penggalangan dana bagi kurasi  Metropolitan Museum of Art. Event ini disebut sebagai party of the year dan the Oscar of fashion industry, melibatkan individu dari dunia fashion, politik, bisnis, entertainment, dll.

Anna Wintour on Her Image

“I’m an ice queen, I’m the sun king, I’m an alien fleeing from District 8 and I’m a dominatrix. So I reckon that makes me lukewarm royalty with a whip from outer space.” (2008)

Sosok Wintour sebagai pemimpin redaksi US Vogue sangatlah enigmatic. She has a circle of friends and network yang memungkinkan dirinya untuk memperluas peran dan influence di luar lingkupnya sebagai pemimpin redaksi yang harusnya berwenang pada editorial majalahnya saja. Wintour sendiri berasal dari keluarga dengan karir jurnalistik, ayahnya adalah salah satu editor senior The Guardian. A career in journalism seemed to be a path for her to follow. Tak banyak bicara di media, juga tak memiliki media sosial pribadi, publik mendengar sosok Wintour sebagai seorang pemimpin yang dingin dan ruthless.

Apa Menariknya Film The September Issue?

Daya tarik utama dari film ini jelas dari kedua subyeknya yaitu majalah US Vogue dan sosok editor in chief Anna Wintour. Jarang ada media publikasi yang pemimpin redaksinya begitu disorot dan berpengaruh selayaknya selebritis. Dari ragam artikel yang saya baca, the fashion industry is a tight knit community. This film let us mere mortals see what’s going on behind the curtain. Fashion may seem as trivial but I still remember what my lecturer once said, “Fashion is capitalism’s favorite child!”

Rumah produksi film dokumenter The September Issue ini merupakan salah satu anak perusahaan media di mana satu dari tiga pemilik sahamnya adalah Hearst Corporation. Hearst Corporation adalah perusahaan media yang merupakan induk dari Harper’s Bazaar, rival utama US Vogue. Sebuah fakta menarik bahwa bagian dari pembuat film ini secara tak langsung adalah rival US Vogue sendiri! Fakta bahwa film ini dirilis setelah kemunculan film The Devil Wears Prada pada 2006 semakin membuat penasaran. Miranda Priestly (diperankan Meryl Streep), karakter editor in chief majalah fashion Runway dalam film itu disebut sebagai representasi dari Anna Wintour. Film The Devil Wears Prada sendiri diangkat dari novel yang ditulis salah satu eks pegawai US Vogue. Munculnya The September Issue worked as if it was the antidote of The Devil Wears Prada.

Dalam jurnalisme, fungsi jurnalis adalah mengumpulkan/meliput fakta. Fakta-fakta yang sudah terkumpul lalu mengalami serangkaian proses seleksi, penulisan, fact checking, dll hingga akhirnya dimuat/ditayangkan di media. Editor in chief atau pemimpin redaksi sebagai jurnalis, turut berperan melakukan proses-proses tersebut. Menariknya di film ini, digambarkan ada proses yang berbeda mengenai peliputan fakta yang US Vogue lakukan, bila dibandingkan dengan media pada umumnya!

Sebelumnya, memang sudah ada film-film dokumenter bertemakan fashion. Namun film-film tersebut pada umumnya meliput proses kerja fashion designer dalam mempersiapkan karyanya. The September Issue by far was the only documentary film that told the behind the scene process of a major fashion magazine. What makes it more interesting is the narrative style in this documentary film. Pada umumnya, film dokumenter dibuat dengan melibatkan narasi/voice over yang bercerita sambil scene demi scene ditampilkan. Selain itu, biasanya film dokumenter made up of many interviews dengan tokoh-tokoh yang terlibat. Jadi, jalan cerita dibentuk dari wawancara dan voice over.

The September Issue sendiri adalah jenis dokumenter cinema-verite. Tidak ada voice over ataupun banyak wawancara dalam film tersebut. Narasi dan alur cerita, serta konstruksi pesan/filosofi dibangun lewat rangkaian adegan yang disusun sedemikian rupa dari awal film hingga akhir. Audiens berasa sedang menonton film fiksi (dan film dokumenternya jadi tidak berasa boring)! Yah namanya film bertemakan fashion, buat saya menonton film ini benar-benar memanjakan mata! Warna-warni bertebaran, everything was aesthetically pleasing, dan melihat proses kreatif buat saya sungguh menyenangkan.

Last but not the least, this is the film that made me earned my Bachelor Degree! Hahaha. Saya berkuliah di fakultas Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi broadcast TV. Saat mengerjakan skripsi, saya memilih film ini untuk diteliti. Penelitiannya menggunakan metode semiotika berjudul Konstruksi Jurnalisme di Majalah Fashion dalam Film Dokumenter The September Issue.

Buat kamu yang menggemari fashion, atau sekadar penasaran aja ingin tahu bagaimana di balik layar sebuah majalah fashion terkemuka, film ini boleh ditonton! Ringan and pleasing on the eyes, get your popcorn ready!

Baca juga: Skripsi.
Menutup studi S1 dengan tema penelitian yang saya suka: fashion dan film! Tak sekadar jalan meraih gelar S1, banyak insight yang didapat saat mengerjakan skripsi ini.

Written by Anty

A CR Girl turned stay at home Mom of 3 kids. Missus Heroine is the place where I share my thoughts and journey adapting into my new roles as well as many other things. Here I am, in a journey of becoming the Heroine I want myself to be.

More From This Category

0 Comments

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Drop me your email and I'll slide into your inbox for updates!