Hampir 2 tahun ini anak-anak bersekolah secara online, di rumah saja.
Pola belajar pun cukup mengalami perubahan. Sekarang, setiap hari Day, Dil, dan Dza belajar dengan terkoneksi internet. Di satu sisi, anak-anak jadi belajar untuk menggunakan internet sebagai sumber informasi, namun di sisi lain, kemudahan mendapatkan informasi melalui internet membuat “daya juang” anak sedikit banyak berkurang.
Dulu saat masih bersekolah offline, anak-anak mendapatkan informasi dari guru di kelas serta membuka-buka buku pelajaran untuk menemukan jawaban dari soal/evaluasi yang diberikan. Sekarang, karena setiap hari terkoneksi dengan internet, jika anak-anak mendapat assignments atau evaluasi dari gurunya dan kesulitan menemukan jawaban, instead of membolak-balik buku pelajaran atau berusaha melogika jawabannya, these kids easily type on Google search to figure out the answers. I often see them Day and Dil (since they are in higher grades) rely on the search result that Google provides more than it should be. Disclaimer, saya menetapkan standar yang tinggi, jadi definisi “kids rely on Google” buat saya bisa berbeda dengan ortu lainnya ya. Another experience, antara ingin segera selesai mengerjakan ataupun tidak tahu jawabannya apa, they just answered randomly, alias asal jawab yang penting terisi dan bisa di-submit.
Downside-nya, jelas anak-anak masih harus diajarin lebih lanjut bagaimana searching yang efisien: keyword/kalimat apa yang dimasukkan supaya search result-nya akurat, lalu setelah muncul search result, bagaimana memilih web yang paling legit untuk dijadikan sumber jawaban, dll. There’s a catch to this, tidak semua jawaban muncul as is, sometimes, kids must read a lengthy article and then deduce it to figure out the answer and that… is the problem! Asumsi dan harapan anak-anak, sekali klik search maka jawaban langsung muncul dan tinggal salin deh! Plus, tidak perlu repot-repot membuka-buka buku pelajaran. Begitu susah dikit kaya begini, they start whining. And whining my friend, is not a sign of resiliency. Saya yakin bukan cuma saya sebagai ortu yang mengalami hal ini dan jujur saja, saya sedih melihat anak-anak sekarang (should I say, Gen Z kids?) tidak sekuat dan setambeng generasi-generasi sebelumnya. Susah dikit langsung merengek. Maunya apa-apa instan. Satu-satunya instan yang saya approve cuma mie instan, dear . -_-
What these kids don’t see is how they have it easy. Berkaitan dengan studi, meski memang sedang dihadapkan pada situasi belajar yang tidak ideal, namun anak-anak masih bisa belajar dengan suasana nyaman, alhamdulillah dalam kondisi sehat, serta kebutuhan akses belajarnya terpenuhi. Berusaha menjelaskan pada anak-anak on how they have it easy, juga sudah dilakukan. Oh well, every once in a while, they forget (namanya juga anak!)… and Mami gets pissed.
This brings me back to a memory from my study days back in university, masa-masa perjuangan menyelesaikan skripsi demi sebuah gelar S1… as it turned out, has opened many opportunities from me (grabbed or not they still count as opportunities lhaaa hehehe).
I hope when my kids read this, they will have something to learn.
***
Sebenarnya sih, setelah lulus SMA saya ingin melanjutkan studi di bidang fashion design, namun apa daya, pada jamannya (tahun 2006) yang namanya kuliah jurusan fashion design tuh kampusnya ada di Jakarta dan gelar sarjananya hanya setara D3, nggak sampai S1. Harapan orang tua saya adalah anak-anaknya lulus kuliah dan memiliki gelar S1, agar bisa membuka peluang pekerjaan/karir yang baik sekaligus kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi ke depannya. Apalagi saya anak pertama. Diberi tanggung jawab ekstra memikul ekspektasi orang tua. Hahaha. Budget wise, melanjutkan sekolah di jurusan fashion design cost-nya jauh lebih tinggi dibandingkan cost kuliah di universitas pada umumnya. Belum lagi harus ketambahan living cost di Ibukota plus the harrowing idea of melepaskan anak gadis yang baru beranjak dewasa di kejamnya Ibukota. Ceilah! Hehehe. So I went to my second option, yaitu jurusan Ilmu Komunikasi.
Kalau ada yang tanya pada waktu itu, kenapa memilih jurusan Ilmu Komunikasi, jawaban saya adalah karena profesi yang bisa dikerjakan oleh lulusan Ilmu Komunikasi adalah profesi yang bisa bertemu banyak orang dan bisa ke mana-mana. Di bayangan saya, nanti kalau sudah kerja, saya bisa travelling ke mana-mana buat urusan pekerjaan. Pemikiran simple anak SMA. Hahaha. Nevertheless, I have always loved language and creative ideas, so Communication was a matching choice.
Saya berkuliah di salah satu universitas swasta terkemuka di Surabaya. Dengan sepenuh hati saya tidak memilih universitas negeri because I wanted to enjoy and love my study experience in university. It would have been the last period of my life where I could have fun, be a bit reckless without hard repercussion… before eventually entering the adult life a.k.a working. I am half Javanese (pihak keluarga Bapak masih punya gelar Raden) and also half Chinese. Saat di SMP negeri dulu, I looked fairly different than my friends (apalagi belum pakai jilbab) dan sayangnya saya sempat merasakan yang namanya panggilan-panggilan rasis, no matter what the context: serius atau candaan. Based on my experience, saya kurang cocok dengan infrastruktur di sekolah negeri dan bayangan saya, perkuliahan tidak akan jauh berbeda kualitas infrastruktur… ataupun interaksi sosialnya. Ditambah lagi, proses seleksi masuk universitas negeri bagi saya (sampai sekarang) ribet dan membebani. Harus ikutan aneka ria bimbel (padahal SMP pernah didaftarin bimbel tapi banyak bolosnya, I preferred les Inggris than bimbel) untuk ikutan tes seleksi yang belum tentu juga bakal diterima.
Melengganglah saya dengan bahagia ke universitas pilihan saya!
I spent 5 years to get my Bachelor Degree. Kalau dihitung-hitung, untuk bisa lulus mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi, selama berkuliah saya harus melalui 2 internships (4 kali sidang), sekali sidang proposal kolokium untuk pengajuan judul skripsi, sekali sidang kolokium alias sidang umum di hadapan sesama mahasiswa, serta sekali sidang skripsi di hadapan dosen penguji. Ada “ekstra” molor 1 semester yang saya lalui karena saya mengerjakan internship kedua di Jakarta. Internship kedua ini dilakukan saat semester 5 dan bagi mahasiswa yang mengerjakan internship di luar Surabaya, otomatis tidak bisa paralel mengambil mata kuliah untuk proposal skripsi. Jaman dulu belum ada yang namanya kuliah jarak jauh ya. We must made our choice: mau merasakan jadi “anak rantau” saat internship dan mencari bigger challenge? Ya harus terima konsekuensi molor durasi.
Saya mengambil konsentrasi di bidang Broadcast TV. Saat tiba waktunya untuk menyusun skripsi, kepikiranlah saya untuk membuat penelitian kualitatif. Saya tidak suka penelitian kuantitatif karena buat saya monoton: cuma nyebarin angket terus dihitung aja pakai SPSS untuk lihat hasil survey-nya. I wanted to have the freedom of expressing my thoughts and interpretations about my subject. Subyek penelitian untuk mahasiswa konsentrasi Broadcast TV sangatlah menarik: mulai dari iklan televisi, serial TV, sinetron, hingga film. Tayangan-tayangan tersebut diteliti untuk menemukan nilai/ideologi yang tersirat di dalamnya melalui simbol-simbol yang dimunculkan pada tayangan tersebut. Simbol di sini bisa berupa gerak tubuh, ekspresi, latar, nuansa warna yang tampak, hingga dialog. Not everything is what it seems to be. Begitu kira-kira. Metode penelitian ini disebut dengan nama Semiotika.
Awalnya, saya terpikir untuk meneliti seputar representasi perempuan ataupun Feminisme dalam sebuah tayangan film/serial TV. Feminisme adalah salah satu isu sosial yang pada waktu itu sedang jadi bahasan di antara kami para mahasiswi. Beberapa mahasiswi sudah mencoba meneliti topik ini, baik sebagai skripsi oleh angkatan sebelum saya maupun sebagai bagian dari tugas perkuliahan. Sejujurnya, saya masih mengambang. Feminisme adalah sebuah isu yang menarik bagi saya. I agree with the idea of empowered women, of women being given equal rights and opportunities as men, simply because women are… humans. Pemahaman saya masih sebatas di sana saja. Untuk benar-benar dapat meneliti, saya harus mendalami literatur tentang Feminisme. Biar bisa paham konsep ideologi tersebut sepenuhnya. I tried, tapi sejujurnya it was still vague. Saya belum bisa 100% mantap untuk memutuskan mau meneliti ideologi Feminisme ataupun representasi perempuan dalam muatan film. Film-film yang pernah rilis di bioskop juga jadi bahan rebutan teman-teman lain untuk diteliti.
Film apa yang mau saya teliti? I had no idea.
***
One day, I had a grocery trip with my father. Seusai belanja di supermarket, saya masuk ke toko DVD langganan. Tidak ada DVD spesifik yang dicari, saya hanya ingin lihat-lihat. Saat berkeliling melihat koleksi DVD baru yang dipajang, mata saya tertuju pada sebuah DVD dengan cover menarik: latar warnanya putih dengan gambar samar perempuan berpotongan bob mengenakan kacamata hitam. Desain cover DVD tersebut pernah saya lihat sebelumnya saat sedang browsing Tumblr. Ada sebuah film dokumenter baru tentang majalah fashion US Vogue yang baru dirilis.
Never had I thought that I would find that film’s DVD in this humble store.
Rasanya pikiran saya langsung cling! Plong! Akhirnya saya ketemu dengan apa yang saya cari-cari! My research subject!!!
I bought the DVD and watched it as soon as I got home.
“September is the January in Fashion.”
Begitulah ucapan executive Fashion Director US Vogue Candy Pratt Price, yang terekam dalam film. Bulan September adalah bulan yang penting di industri fashion karena saat itulah koleksi Autumn/Winter diluncurkan. Peluncuran koleksi tersebut sekaligus menandai dimulainya siklus fashion yang baru. Apalagi edisi September 2007 ini adalah edisi yang bersejarah, karena merupakan September issue terbesar yang pernah dibuat US Vogue. Terbesar alias halamannya paling banyak, yang berarti banyak advertiser yang pasang iklan di edisi tersebut, which equalled profit! Hal ini sekaligus memperkuat pernyataan bahwa US Vogue adalah majalah fashion yang paling berpengaruh di dunia.
Hal yang saya teliti dari film ini adalah bagaimana jurnalisme fashion yang dilakukan oleh majalah US Vogue digambarkan dalam film dokumenter ini. Setelah beberapa kali berganti judul, akhirnya approved juga oleh dosen pembimbing judul skripsi saya: Konstruksi Jurnalisme di Majalah Fashion dalam Film Dokumenter “The September Issue”.
Kenapa saya tertarik untuk meneliti film ini? US Vogue, format film dokumenter, dan tema September Issue adalah kombinasi yang menarik, karena:
-
- Film dokumenter bertema fashion sudah pernah dibuat tapi hanya seputar model, desainer, dan rumah mode. Film dokumenter yang membahas tentang media fashion belum ada.
- Media fashion yang didokumentasikan dalam film ini adalah US Vogue. Majalah ini adalah majalah fashion dengan pendapatan dan sirkulasi tertinggi di dunia. US Vogue somehow, adalah satu-satunya majalah yang punya power untuk mempengaruhi tren dan exposure para pelaku industri fashion (desainer, model, fotografer, penata gaya, dll).
- R.J. Cutler, sutradara dari film dokumenter The September Issue mengungkapkan minatnya membuat film dokumenter ini setelah membaca artikel di New York Times tentang Met Gala, pesta penggalangan dana untuk Metropolitan Museum of Arts yang dikepalai oleh Anna Wintour (off course using Vogue magazine as her vehicle) dan selalu berhasil meraup dana ratusan juta dollar. Anna Wintour dan majalah Vogue sebagai pelaku jurnalisme — yang peran dan fungsi aslinya adalah menyampaikan fakta kepada masyarakat — mampu bertindak sebagai organizer sekaligus pemegang pengaruh akan terselenggaranya suatu event besar.
- Belum ada penelitian mengenai jurnalisme di majalah fashion (terlebih lagi di media besar sekelas US Vogue) baik penelitian secara terjun langsung ke lapangan ataupun dengan mengamati film. Mine could be the first.
- Film dokumenter ini dibuat dengan teknik pembuatan film dokumenter cinema-verite. Dalam proses pengambilan gambar, sutradara dan kameramen were being flies on the wall. Mengikuti subyek penelitian dan mengumpulkan footages kegiatan mereka. Tidak ada narasi ataupun wawancara seperti film dokumenter pada umumnya. Konstruksi film — narasi, angle, struktur cerita, ideologi, dll — dalam film dokumenter cinema-verite dibangun secara implisit ketika proses editing, di mana footages yang dikumpulkan dirangkai menjadi satu film utuh.
Well, pertama karena saya senang sekali dengan industri fashion dan saya senang dandan! Paling tidak, meneliti film ini untuk skripsi saya bisa jadi closure saya yang tidak jadi masuk sekolah fashion hehehe. Saya membayangkan, nanti saat mengerjakan penelitian skripsi ini saya bakal menikmati sekali: research dan baca-baca literatur tentang fashion, juga tentang majalah dan film. Tidak terasa seperti sedang mengerjakan tugas ‘kan. I wanted to conclude my enjoyable study experience with something that was meaningful too me. Something I could do wholeheartedly, tidak sekadar sebagai syarat pokoknya bisa lulus.
Terlebih lagi, sedikit banyak saya mengidolakan sosok Anna Wintour, sang editor in chief majalah US Vogue. Menurut saya, Anna Wintour adalah sosok strong woman. Yup, memang dia bergerak di industri yang dicap vain dan feminin sekali, but fashion is still a multi-billion dollar business, ditambah melihat sepak terjangnya untuk menjadikan US Vogue sebagai barometer utama fashion dunia, who wouldn’t be intrigued to dive deeper? Kapan lagi saya bisa mengintip Anna Wintour bekerja kalau nggak menonton film ini. Satu lagi, saya meyakini bahwa topik skripsi saya bakal menjadi satu-satunya, alias tidak ada yang ngembari (well… kalo tentang Feminisme sudah banyak yang ambil, apalagi subyeknya film bioskop ya) jadi dosen saya tidak akan punya bahan pembanding!
***
Namanya penelitian, tentunya harus dibekali dengan literatur-literatur sebagai sumber referensi: Literatur yang saya pelajari untuk skripsi saya saat itu meliputi ilmu komunikasi (media massa dan jurnalisme, semiotika, konstruksi dalam media), film (film dokumenter, teknik pengambilan gambar, dll), serta fashion (hore!). Textbook, artikel di media, hingga jurnal adalah makanan sehari-hari.
Di sinilah perjuangan dimulai.
Dari total 121 sumber literatur yang saya gunakan untuk skripsi, mungkin hanya sekitar 10% sumber saja yang saya beli bukunya sendiri. Sisanya? I got them through a combination of sources. Pertama, tentunya lewat perpustakaan universitas. Sepanjang saya berkuliah, saat skripsi itulah saya benar-benar ngubek-ubek isi perpustakaan. Perpustakaan universitas saya terdiri dari 4 lantai, letaknya di gedung bangunan lama. There was a running joke among us, “Kita kalo mau ke perpus taruhannya nyawa ya!” Lift akses di gedung itu pintunya sempit dan somehow suka otomatis menutup sendiri padahal kami sedang melewati pintu lift itu. Entah ya, mungkin sensornya sudah tidak berfungsi dengan baik. Hehehe.
Fashion and arts adalah 2 hal yang saya gemari. Saya senang melihat sebuah ide kreatif berproses hingga menjadi kenyataan, kombinasi warna-warna, material, serta bagaimana filosofi dan value yang ditanamkan di balik sebuah karya. I might not be as talented as them who pursue the education in arts and fashion, but I have the sense. Saya tidak menyangka bahwa saya akan menemukan cukup banyak buku-buku bertemakan arts dan fashion baik yang saya butuhkan untuk menunjang penelitian saya maupun untuk saya eksplorasi as an interest. I found books on fashion and designs, films (its history and development), as well as books about design in general di section buku-buku anak DKV. Saya lupa judul-judulnya, but I still remember the awe when I strolled through that section in the library and got surprised (sekaligus terharu karena lega hahaha!) that some of the books I was looking for was there all along! I just needed to dig deeper! Buku-buku arts and fashion adalah buku-buku hardcover terbitan luar negeri. Tidak mungkin saya beli karena 1 buku aja harganya bisa 400-500 ribu (iya, buku seni dan desain itu pastiii harganya lebih mahal). Seingat saya waktu itu, toko buku luar negeri adanya hanya Periplus Tunjungan Plaza dan bandara. Kalaupun mampu beli, tidak tahu juga kapan sampainya buku itu ke tangan saya.
Other gems I found was in the Sastra Inggris section. Sebenarnya sudah jelas sih ya namanya saja jurusan Sastra Inggris, ya jelas mereka punya banyak koleksi buku-buku novel mulai dari sastra Inggris klasik (hello Bronte sisters!!) hingga modern kontemporer. Seneng bangeeeet saya menemukan aneka novel yang menunggu untuk dibaca!
Ada 4 buku yang memorable dan pertinent untuk skripsi saya kala itu. Pertama, sebuah buku tentang proses produksi majalah, kalau tidak salah The Magazine Handbook oleh Jenny McKay yang terbit pada tahun 2000. I found the book at the special section, di lantai yang buku-bukunya hanya boleh dibaca di tempat atau halaman-halaman tertentu yang dibutuhkan difotokopi oleh petugas perpustakaan. Satu buku lagi adalah tentang film dan perkembangannya — sorry I forgot the title and authors — bukunya hardcover dan ada di section DKV. Di dalam buku itu ada pembahasan mengenai film dokumenter dan cinema-verite. Waktu itu, buat saya mencari referensi tentang cinema-verite tidak mudah, I was so grateful to have found the book. Buku ketiga yang saya ingat adalah buku Fresh Lipstick: Redressing Fashion and Feminism karya Linda M. Scott terbitan tahun 2006. Buku itu mengangkat tentang fashion dan hubungannya dengan feminisme serta representasi perempuan. The book gave a unique perspective on the relation between fashion and feminism. Isinya sangat informatif karena penulisnya merunut sejarah feminisme dan media fashion sejak awal (around the year 1800s), di mana salah satu yang dibahas adalah perkembangan US Vogue sebagai majalah fashion paling influential. I loved that book a little too much that I made a copy of that book. Bagian ini jangan diikutin ya!
Buku terakhir, adalah buku keramat anak-anak broadcast TV yang sedang mengerjakan skripsi. Judulnya Television Culture karya John Fiske yang diterbitkan tahun… 1987! Yes, it was an old book but nevertheless the theories and views were still relevant back then jadinya setiap kali penelitian pasti buku itu digunakan dan diburu para mahasiswa. Seingat saya, hanya ada 1 buku itu di perpustakaan dan waiting list! Harus rajin-rajin cek perpus untuk lihat, bukunya sudah kembali/belum atau… siapa nih yang lagi pinjam bukunya? Lalu kami kejar bersama-sama. Hehehe.
Sebagian besar referensi penelitian saya dapatkan melalui Google Books, artikel media (cari di internet), serta dari situs sharing file ebooks. Situs sharing file ebooks ini sejujurnya agak area abu-abu ya, in between sharing and piracy… but I needed the books and they have plenty of fashion and media related books that I was looking for. Untuk Google Books sendiri, memang tidak menampilkan keseluruhan isi buku, tapi qadarullah, dari beberapa buku yang saya cari di Google Books, hampir semua preview chapter yang ditampilkan adalah bagian buku yang saya butuhkan untuk referensi. I was saved! Alhamdulillah.
Last but not the least, the two very very important sources for my undergraduate thesis: artikel media dan jurnal ilmiah. Modalnya dari mana? Google dong!
Subyek penelitian saya ‘kan film dokumenter. Film yang meng-capture realita, alias kejadian dan tokoh-tokohnya nyata, bukan karangan si sutradara atau penulis naskah. Ada 51 tokoh dalam film dokumenter The September Issue yang semuanya saat itu hingga sekarang masih aktif sebagai pelaku industri fashion dunia. So I couldn’t make up the informations. Untuk menggali lebih dalam saat melakukan analisis, saya butuh profil dan juga artikel berita pendukung mengenai tokoh-tokoh serta peristiwa yang terjadi di industri fashion pada masa itu. There was not a day where I didn’t browse through: New Yorker, New York Magazine, Women’s Wear Daily, Financial Times, Harvard Business Review, Business of Fashion, Textile World, dan kawan-kawannya. Sekali buka browser, tab saya bisa puluhan. Saking banyaknya tab yang kebuka, most of the time, laptop hanya beristirahat dalam mode hibernate atau sleep. Biar pas menyalakan langsung browser terbuka. Yaaa padahal bisa bookmark juga ya!
Saking stressnya, I totally turned off my Blackberry so that nobody could reach me, termasuk dua dosen pembimbing saya, Ms. Grace Swestin dan Drs. Nanang Krisdinanto. I could say, they were the best lecturer to consult my research with. Keduanya adalah kombinasi dosen pembimbing yang diharapkan mahasiswa broadcast TV saat skripsi. Both of them were super friendly, termasuk dosen gaul yang gampang banget komunikasi dan diskusi dengan mahasiswanya, nggak ribet masalah jadwal konsultasi, dan they were a type of lecturers who would push you to your limit. In my case, beliau berdua super sabar menghadapi saya yang antik ini. Pak Nanang waktu itu sempat bilang, “Kamu itu eksentrik! Hahaha.”
Gimana nggak dibilang eksentrik: I disappeared for a month & turned off my Blackberry, kedua dosen saya sampai pesan ke teman-teman studio radio, “Eh, kalo ketemu Anty tolong kabarin ya, dicari Pak Nanang dan Ms. G!” Hahaha. Suddenly, I showed up at campus terus minta bimbingan. Masih ingat juga kala itu Pak Nanang berpesan ke saya, “Penelitian semiotika itu seperti musik jazz, kamu bisa berkreasi analisis ke mana-mana, tapi harus ingat untuk kembali ke asal penelitianmu tujuannya apa. Kebanyakan baca materi kamu bingung sendiri. Cepetan ditulis!” Hehehe.
All in all, akhirnya skripsi saya selesai juga. Di angkatan saya, saya termasuk satu dari beberapa yang lulus belakangan. Did I regret it? No! I learned a lot and had my time doing my research. And I still remembered, dosen penguji saya, Bung Djoko (DR. Djoko Judy Wahono Tjahjo, S.E., M.Si) komentar ke saya sebelum sidang dimulai, “Skripsimu kualitatif ya… kalo kuantitatif saya tinggal baca bab terakhir saja selesai. Ini saya harus baca semuanya.” He waved my 300+ pages of undergraduate thesis and smiled. Hahaha. Setelah kelar sidang dan dinyatakan lulus dengan nilai A, dosen-dosen saya langsung pada melukin antara memberi selamat sekaligus lega, akhirnya ini bocah antik lulus juga!
Alhamdulillah!
The Takeaways
Oh how the sun shone again!
A heavy load was released from my shoulders!
I passed my undergraduate thesis defense with A mark!
I finished my undergraduate study and could proudly put S. Ikom (Sarjana Ilmu Komunikasi) after my name!
Epilog
“We do not learn from experience… we learn from reflecting on experience.” – John Dewey
… but time is needed anyway. To build enough distance and gather enough wisdom for me to reflect from this experience. Pelajaran yang terakumulasi saat pengalaman saya di akhir masa perkuliahan ini, ternyata membantu saya dalam perjalanan hidup saya berikutnya.
Sebagai anak S1 dari sebuah kampus swasta yang ternama, ada momen di mana saya sempat down ketika pertama kali mulai bekerja di perusahaan otomotif. A bachelor degree from reputable private university and I should worked as a “Mbak-mbak who sits at the front office, greeting and smiling to customers like some airheads?” Yes, segitu kaget, kesel, dan gengsi saya kala itu. I was going to resign from a job I barely got. Gara-gara gengsi. Dorongan dari Ibu and yes, the resiliency I earned helped me… untuk bertahan, untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan angkat kaki. The resiliency helped me to stay and see where this would lead me to.
I felt that I had so much potential, and there was the passion for creativity in me. I saw opportunities to manifest that passion within the company I worked with. So I tried, and I pushed through. Perjalanan selama bekerja, both profesionally and personally, wasn’t always smooth. There were obstacles. Plenty of them.
Nevertheless, I strived. I made it more than just Mbak-Mbak who sits at the front office into a girl who honed her passion, skill, and creativity. Saya bisa mendapatkan kesempatan ekstra untuk berkontribusi di berbagai event, yang jujur saja membuat pekerjaan saya sebagai CR jadi lebih menarik. Did I always have it figured out? Nope!
… but one thing I knew, I never said no. Mana kala pimpinan ngajakin bikin event dengan detail dan deadline yang ajaib, I always said, “Let’s see what I can do.”
0 Comments