Sumber: https://www.vecteezy.com/vector-art/224357-indonesia-vector-illustration |
Bhinneka Tunggal Ika, semboyan milik bangsa Indonesia ini sudah pasti kita kenal. Terpampang jelas pada lambang Garuda Pancasila dan diajarkan sejak bangku sekolah dasar. Menggunakan bahasa Sansekerta, semboyan ini menggambarkan tentang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, etnis, budaya, agama, bahasa daerah, dan ras. Sebuah frasa yang merepresentasikan impian para pendiri bangsa ini. Nyatanya, mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika: berdampingan secara harmonis dan tanpa prasangka bukanlah perkara yang mudah.
Sebagian keluarga saya beragama Islam dan juga Katolik. Masa sekolah saya dihabiskan dengan mengenyam pendidikan di sekolah negeri dan juga sekolah swasta berbasis agama Kristiani. Saat bersekolah, saya merasakan menjadi mayoritas sekaligus minoritas. Di sekolah negeri, saya menjadi kaum mayoritas karena beragama Islam, namun menjadi minoritas karena saya memiliki darah Tionghoa. Hal sebaliknya saya alami ketika bersekolah di sekolah swasta Kristiani. Dari pengalaman tersebut, saya merasakan bagaimana sebagai minoritas dipandang berbeda, semisal diberi sebutan yang bermakna derogative seperti “Cino” dan “Singkek”. Padahal, istilah “Singkek” sendiri berasal dari kata “Sin” yang berarti baru dan kata “Khe” yang berarti pendatang. Istilah ini merujuk pada warga Tionghoa yang asli datang dari Tiongkok di jaman penjajahan dulu. Mereka datang ke Indonesia untuk merantau, berbekal uang seadanya dan kemampuan komunikasi yang minim karena kendala bahasa. Batasan tersebut menjadikan mereka tidak mudah bergaul dan harus berhemat untuk mencukupi hidupnya. Seiring dengan berjalannya waktu, “Sin Khe” mengalami peyorasi, tidak saja bergeser penulisannya menjadi “Singkek” namun juga bergeser maknanya, merujuk pada stereotip bahwa kaum Tionghoa pelit dan tidak mau berbaur.
Sebaliknya, ada istilah “Huana” yang merujuk pada orang keturunan Jawa, yang juga kerap saya dengar. Istilah ini pun seolah bermakna derogative padahal “Huana” berasal dari dialek Hokkian yang bermakna orang yang asing/datang dari luar. Jika kita perhatikan, baik istilah “Singkek” maupun “Huana” mengalami pergeseran makna menjadi suatu kata yang bersifat merendahkan. Penggunaan dua kata yang sama-sama berarti “orang asing” ini juga menunjukkan bahwa sebagai sesama warga negara, kita kurang mengenal satu sama lain. Bukankah ada ungkapan, tak kenal maka tak sayang?
Makna diskriminasi adalah membedakan secara sengaja kepada golongan-golongan yang berhubungan dengan kepentingan tertentu. Perbedaan ini biasanya didasari oleh suku, agama, etnis, dan ras, serta cenderung dilakukan oleh kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas. Sepenggal kisah pengalaman saya di atas hanyalah contoh kecil. Banyak sekali kasus-kasus diskriminasi terjadi di Indonesia. Di tahun 2019, terjadi kasus penolakan bangunan gereja di daerah Bandut Lor, Bantul yang mayoritas warganya beragama Islam. Slamet Jumiarto dan keluarganya sempat ditolak untuk tinggal di Dusun Karet, Bantul karena bukan seorang Muslim. Di tahun 2018, Persatuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura menyampaikan penolakan renovasi menara Masjid Agung Al-Aqsha di Sentani dengan alasan menara masjid akan lebih tinggi dari gereja di sekitar lokasi tersebut. Pada masa kampanye pilpres 2014, muncul isu bernuansa diskriminasi bahwa capres saat itu, Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Ketika Bank Indonesia merilis uang kertas pecahan 75.000 rupiah dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-75 Agustus lalu, sempat ramai bahasan netizen di media sosial bahwa terdapat pakaian adat Cina di uang kertas tersebut. Padahal, pakaian adat yang dimaksud adalah pakaian adat dari Suku Tidung, Kalimantan Utara. Desain logo HUT Kemerdekaan RI ke-75 saja sempat menjadi bahasan viral karena dianggap menyerupai gambar salib.
Sumber: https://mmc.tirto.id/image/2018/11/21/diskriminasi–ras—-etnis–nauval.jpg |
“Potensi akan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis memiliki probabilitas yang cukup besar, atau setidaknya hal ini mengidentifikasi sikap permisif sebagian masyarakat atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang terjadi di masyarakat,” jelas Elfansuri (Peneliti Komnas HAM) dalam keterangan resmi Komnas HAM (KomnasHAM.com, 2019).
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya diskriminasi ras dan etnis memang beragam: diskriminasi Tionghoa karena politik pecah belah sejak jaman Belanda, diskriminasi warga Papua yang berakar dari kurang meratanya pembangunan dan perhatian dari pemerintah, dan masih banyak lagi. Belum lagi melihat representasi ras dan etnis minoritas di media. Masih ingat artikel yang diterbitkan oleh majalah Tempo berjudul “Bye, Bye, Bank Cina Asli?” sudah lama memang, tapi setidaknya itu adalah sebuah contoh kecil bagaimana media melegitimasi dan memperkuat stigma dan asumsi yang selama ini melekat di masyarakat atas etnis Tionghoa. Dalam film Denias, digambarkan anak-anak Papua adalah anak-anak yang kasar, kurang berpendidikan, dan mudah terpicu pertengkaran, sedangkan di serial televisi “Keluarga Minus” yang pernah tayang beberapa tahun lalu, digambarkan Minus, si karakter Papua ini sebagai seseorang yang bertingkah bodoh dan konyol.
Maraknya media sosial (Twitter, FB, IG) serta Youtube, semakin mempermudah akses mendapatkan informasi serta mengungkapkan pikiran dan pendapat, termasuk yang bersifat negatif dan bernuansa diskriminasi. Brigjen Dedi Prasetyo, Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri menyampaikan bahwa saat ini terjadi pergeseran perilaku di mana dulunya penghinaan dilakukan secara lisan sehingga bisa dikenai pasal konvensional KUHP, saat ini bergeser menggunakan media online. Peneliti Maarif Institute, Helmy K. Pribadi mengungkapkan bahwa konten negatif, seperti ujaran kebencian, berita bohong, dan ungkapan bernada SARA berperan besar membentuk sikap dan pola pikir anak muda menjadi intoleran dan diskriminatif.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sepanjang tahun 2017 tercatat ada 13.829 konten negatif berupa ujaran kebencian yang marak di media sosial, 6.973 berita bohong dan 13.120 konten pornografi (Kompas.com, 2017).
Adanya internet memang memudahkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak muda sudah melek gadget dan teknologi. Anak berusia 5 tahun saja sudah bisa bermain HP dan membuka-buka Youtube. Untuk mencari referensi bahan tugas sekolah saat ini hanya butuh ketikan di keyboard dan jawabannya sudah ditemukan. Namun kemudahan akses informasi ini juga memiliki potensi negatif. Seperti yang dijelaskan oleh data di atas, banyak sekali konten yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kualitasnya wara-wiri di dunia maya. Tanpa supervisi yang mencukupi dari orang tua, anak-anak muda akan mudah terpengaruh oleh pemahaman yang negatif.
But the problem is… we can’t supervise our kids forever. Orang tua memiliki ragam kesibukannya sendiri, entah bekerja, studi, maupun mengurus rumah tangga. Pada saatnya nanti anak-anak juga akan menjalani kehidupannya sendiri tanpa ada orang tua di belakangnya. Tugas orang tua saat ini adalah mempersiapkan anak-anak sebagai generasi muda calon penerus bangsa dengan “amunisi” yang cukup, agar mereka tumbuh dan berkembang dengan karakter yang unggul serta semangat cinta tanah air, dan tentunya memiliki rasa toleransi terhadap keberagaman yang tinggi agar dapat hidup bermasyarakat dengan baik.
It Takes a Village to Raise A Child…
“Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana dalam menanamkan nilai-nilai sehingga terinternalisasi dalam diri peserta didik yang mendorong dan mewujud dalam sikap dan perilaku yang baik.Pendidikan karakter bukan terletak pada materi pembelajaran melainkan pada aktivitas yang melekat, mengiringi, dan menyertainya (suasana yang mewarnai, tercermin dan melingkupi proses pembelajaran pembiasaan sikap dan perilaku yang baik) Pendidikan karakter tidak berbasis pada materi, tetapi pada kegiatan.” (Mardiah, 2016).
Pendidikan karakter sebaiknya dilakukan sedini mungkin: dimulai dari usia SD. Usia di mana anak-anak seolah lembaran kertas putih yang bisa diberi warna. Pada usia ini, anak-anak berkembang pesat secara fisik, motorik, kepribadian, moral, dan intelektualnya. Kemendikbud sendiri juga sudah menetapkan 18 nilai pendidikan karakter untuk anak-anak yaitu: relijius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab. Jika karakter anak sudah terbangun sejak dini, harapannya karakter tersebut sudah tertanam kuat di dalam diri dan tidak akan mudah digoyahkan nantinya, jika si anak sudah dewasa dan mengarungi hidupnya sendiri (Mardiah, 2016).
Pendidikan karakter memang betul sudah diintegrasi dalam keseharian belajar anak di sekolah. Pertama, jelas dari pelajaran Agama. Kedua, dari kurikulum Tematik yang saat ini dipakai. Waktu saya pertama kali membaca-baca buku pelajaran anak-anak, saya lumayan bingung. Buku pelajaran anak-anak sekarang berbeda dengan era 90-an saat saya di sekolah dasar dulu di mana setiap mata pelajaran ada buku diktatnya sendiri-sendiri. Di kurikulum Tematik ini semua mata pelajaran dijadikan dalam satu buku namun dibagi jadi beberapa jilid untuk mencukupi kebutuhan pembelajaran selama 1 tahun ajaran. Setiap buku memiliki judul atau tersendiri, seperti: Aku dan Temanku, Mengenal Lingkungan Sekitar, dan sebagainya. Di samping itu, proses belajar di kelas pun sudah lumayan dua arah, anak-anak “dipancing” untuk berpendapat dan berdiskusi di setiap sesi materi pelajaran. Belum lagi ditambah lagi dengan adanya ekstrakurikuler dan field trip sekolah.
Namun, ada satu hal yang menurut saya masih dapat dimaksimalkan lagi dalam proses pembelajaran anak-anak di sekolah, yaitu: pembelajaran kreatif.
Learning is Most Effective When It’s Fun…
… adalah ungkapan yang dikemukakan Peter Kline dalam bukunya The Everyday Genius (Kline, 1988). Mengikuti kurikulum yang ada sekarang, betul anak-anak lebih dipicu untuk melakukan diskusi dan mengemukakan pendapat di ruang kelas. Tidak melulu mendengarkan guru berbicara seperti sekolah pada jaman saya dulu. Meski demikian, pembelajaran di ruang kelas tetap menitik beratkan pada pemahaman teori atas materi yang sedang diajarkan saja. Sebagai contoh, pada buku pelajaran dijelaskan mengenai Pancasila dan contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak mudah untuk menghafalkan dan menjawab pertanyaan dari guru ataupun saat UTS/UAS berlangsung namun metode belajar seperti ini masih kurang membekali anak untuk menghadapi situasi di dunia nyata.
Sebagian besar lingkungan sekolah pun bersifat homogen: komposisi mayoritas siswanya berasal dari keturunan atau agama tertentu. Bisa jadi, seperti data yang dikemukakan dari penelitian Komnas HAM di atas, lingkungan tempat tinggal pun bersifat homogen, hanya terdiri dari golongan ras atau etnis tertentu. Praktik dari teori tentang toleransi dan multikulturalisme sendiri jadi tidak bisa diterapkan dalam keseharian interaksi sosial di sekolah.
Oleh karena itu, seandainya saya menjadi pemimpin di Indonesia saya akan mengintegrasikan metode Pembelajaran Kreatif tentang toleransi dan multikulturalisme bagi anak-anak usia sekolah dasar hingga menengah. Apa sih Pembelajaran Kreatif? Definisi paling gampangnya, belajar dengan cara yang fun! Masih ingat tidak, saat bersekolah dulu, pengalaman belajar yang paling diingat adalah ketika sebuah pelajaran disampaikan secara menyenangkan. Entah itu dari cara berbicara gurunya atau dari cara mengajari siswa-siswa lewat permainan dan tebak-tebakan misalnya. Bukan sekadar sugesti saja lho itu, menurut neuroscientist Dr. Martha Burns, saat kita bersenang-senang tubuh kita memproduksi zat dopamine. Ini adalah senyawa yang salah satu fungsinya adalah meningkatkan perhatian dan memori. Jadi, saat siswa belajar dengan cara yang menyenangkan, maka materi belajar yang disampaikan bisa lebih dipahami dan diingat.
Praktik Pembelajaran Kreatif yang ingin saya terapkan jika saya jadi pemimpin Indonesia, yaitu Kunjungan Antar Sekolah, yang di dalamnya mencakup beberapa aktivitas:
1. Sharing Session
Jika pada umumnya kunjungan diadakan untuk mengunjungi museum dan wisata alam, maka dalam kunjungan ini para siswa akan diajak untuk berkunjung ke sekolah lain untuk berdialog dan mengenal siswa di sana. Contohnya: siswa dari sekolah negeri/mayoritas beragama Muslim diajak berkunjung ke sekolah berbasis agama Kristiani/mayoritas siswanya dari etnis lain.
Pada kunjungan, siswa akan berdialog mengenai topik tertentu yang diangkat. Untuk siswa sekolah dasar, topik yang diangkat adalah hal-hal simpel mengenai kehidupan sehari-hari seperti keluarga, hobi, aktivitas sehari-hari, film kartun kesukaan, hal paling menyenangkan saat hari raya (dapat THR! dapat Ang Pao! :)) dan lain-lain.
Bagi siswa sekolah menengah, topik yang diangkat bisa sedikit lebih berat, seperti pembahasan isu yang sedang tren di media (bisa berupa isu yang terkait ras dan etnis, ataupun isu-isu lainnya), bagaimana alternatif solusi menurut mereka, dan sebagainya.
2. Group Game
Saat kunjungan, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Dalam satu kelompok terdiri dari siswa kedua sekolah. Permainan yang dilakukan adalah permainan yang bersifat kerja sama dan membangun kepercayaan.
3. Film Talk
Menonton bersama sebuah film, kemudian berdiskusi bersama-sama mengenai film tersebut. Apakah pesan moral dari film tersebut? Adakah makna di balik cerita yang bisa diambil? Apakah ada korelasi kisah di film dengan pengalaman di kehidupan nyata? dan sebagainya.
4. Sports Match
Mengadakan pertandingan persahabatan antar ekskul olah raga sekolah dengan membuat tim gabungan dari kedua sekolah.
Keseluruhan rangkaian kegiatan ini dilakukan beberapa bulan sekali dalam satu tahun ajaran. Keuntungannya:
- Membina hubungan dan komunikasi guru antar sekolah serta memperluas jaringan sosial para guru. Mau tidak mau para guru harus terus berinteraksi untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan program Kunjungan Antar Sekolah ini.
- Para guru secara tidak langsung memberikan contoh mengenai toleransi dan kerja sama kepada siswa-siswanya.
- Mengajak siswa untuk keluar dari ekosistem homogen mereka selama ini dan bergaul secara lebih luas, dengan orang-orang yang “berbeda” dari mereka.
- Menemukan persamaan dalam perbedaan: rangkaian kegiatan yang fun namun diwarnai unsur dialog dan diskusi membuat para siswa mengenal lebih jauh satu sama lain. Para siswa bisa jadi menemukan persamaan sikap, pola pikir, kekhawatiran, ataupun pertanyaan di balik perbedaan yang mereka miliki.
- Siswa praktik langsung dalam penerapan toleransi dan multikulturalisme.
Nah, sebagai penutup rangkaian kegiatan, di penghujung tahun ajaran diadakanlah Culture Day, yaitu sebuah proyek bersama yang timnya berupa gabungan siswa kedua sekolah. Proyek apa yang dibuat? Bervariasi dong, bisa berupa pementasan seni, membuat film pendek, ataupun kampanye digital!
Para siswa yang kita bahas ini adalah calon penerus bangsa. Di saat orang dewasa yang sudah saturated dengan segala konflik dan permasalahan hidup tak dapat cukup jernih memaknai indahnya perbedaan, let alone lead by example and pass it to the children… di sinilah peran generasi muda dibutuhkan: menjadi agen perubahan di masyarakat, yang akan mewarisi dan membesarkan bangsa ini dengan segala keberagamannya.
Harapan saya setelah mengikuti rangkaian kegiatan Pembelajaran Kreatif ini, para siswa bisa mengakhiri tahun ajarannya dengan pengalaman tak terlupakan dan pelajaran berharga yang melekat di memori mereka. Suatu hal yang nantinya akan mereka bagi dan ajarkan di lingkungan sosial mereka. Bahwa di Indonesia, yang namanya perbedaan dan keberagaman itu ada serta dekat sekali di kehidupan sehari-hari mereka. Bahwa menemukan persamaan dalam perbedaan itu bisa. Bahwa hidup berdampingan dengan damai dalam perbedaan bukan idealisme para pendiri bangsa ini belaka.
(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Blog Competition Series yang diadakan Golongan Hutan dan Blogger Perempuan Network).
***
Referensi
Aida, Nur Rohmih. Kompas.com. 2020: 9 Pakaian Adat yang Ada pada Uang Baru Pecahan Rp. 75.000,-. https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/20/093500565/9-pakaian-adat-yang-ada-pada-uang-baru-pecahan-rp-75000?page=all
Anugrahadi, Adi. Merdeka.com. 2019: Polri Sebut Kasus Diskriminasi dan Rasisme Meningkat Terutama di Medsos. https://www.merdeka.com/peristiwa/polri-sebut-kasus-diskriminasi-dan-rasisme-meningkat-terutama-di-medsos.html
Bhaskara, IGN L Adhi. Tirto.ID. 2018: Survey Komnas HAM: Diskriminasi Ras dan Etnis Masih Terus Ditolerir. https://tirto.id/survei-komnas-ham-diskriminasi-etnis-ras-masih-terus-ditolerir-dahP
Dhani, Arman. Tirto.ID. 2016: Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa. https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp
Erdianto, Kristian. Kompas.com. 2017: Ujaran Kebencian Picu Generasi Muda Jadi Intoleran dan Diskriminatif. https://nasional.kompas.com/read/2017/12/08/18445061/ujaran-kebencian-picu-generasi-muda-jadi-intoleran-dan-diskriminatif
Kanapathi, Sashe. Leaderonomics.com. 2018: The Science Behind Getting Your Brain to Enjoy Work. https://www.leaderonomics.com/articles/business/dope-your-learning
Kline, Peter. 1988. The Everyday Genius:Restoring Children’s Natural Joy of Learning. Arlington: Great Ocean’s Publisher.
Latuhararry, Kabar. KomnasHAM.com. 2019: Komnas HAM: Diskriminasi Ras dan Etnis Berpotensi Membesar. komnasham.go.id/n/1155.
Mardiah, Baginda. 2016. “Nilai-Nilai Pendidikan Berbasis Karakter pada Pendidikan Dasar dan Menengah” dalam Jurnal Ilmiah Iqro’ Volume 10 No. 2. Manado: IAIN Manado.
Pratama, Cahaya Dicky. Kompas.com. 2020: Diskriminasi: Pengertian dan Penyebabnya. https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/21/181505469/diskriminasi-pengertian-dan-penyebabnya#:~:text=Dilansir%20dari%20buku%20Kamus%20Sosiologi,etnis%2C%20suku%2C%20dan%20ras.
Sholih, Mufti. Tirto.ID. 2018: Di Balik Polemik Penolakan Masjid Papua. https://tirto.id/di-balik-polemik-penolakan-menara-masjid-di-papua-cGrd
The Conversation.com. 2020: Rasis Sejak Dini: Temuan Diskriminasi dalam Tontonan dan Bacaan Anak tentang Papua. https://theconversation.com/rasis-sejak-dini-temuan-diskriminasi-dalam-tontonan-dan-bacaan-anak-tentang-papua-142164
0 Comments