I have two boys. Rutinitas mereka setiap hari Jumat adalah pulang sekolah dijemput oleh suami, lalu mereka bertiga bersama-sama sholat Jumat di masjid. Setelah itu barulah suami mengantar anak-anak pulang ke rumah. Itu dulu, sebelum negara api menyerang. Eh… pandemi maksudnya!
Pandemi yang berlangsung 2 tahun lebih ini mau tidak mau mengakibatkan kedua anak laki-laki saya terkarantina di rumah alias tidak diijinkan mengikuti sholat Jumat berjama’ah di masjid. Semua sudah pada tahu lah, bagaimana kondisi pandemi, terutama di fase-fase awal lalu seperti apa. Terlalu beresiko membawa anak-anak ke tempat umum, termasuk salah satunya masjid. FYI, sekarang pun meski kami semua sudah vaksin 2 dosis plus suami sudah booster, kami masih belum pernah makan di luar. Nge-mall juga baru dua kali, itupun segala jajanan yang dibeli di mall kami makan di mobil. Ada banyak pertimbangan kesehatan dan kondisi keluarga mengapa kami menerapkan hal ini.
Meski demikian, sekolah anak-anak per Maret lalu sudah mulai memberlakukan blended learning. 50% siswa masuk kelas, sedangkan 50% sisanya online. Jadwalnya bergantian. Anak-anak saya masih saya sekolahkan full online hingga penerimaan rapor tengah semester 2 minggu lalu. Setelah berdiskusi dengan suami, we decided to send Day and Dil untuk full masuk sekolah PTM di sisa semester ini. Alasannya? Day dan Dil sudah cukup besar untuk paham prokes, terlebih sepertinya mereka dapat “pelajaran” (kalau tidak mau dibilang a bit traumatized) saat Februari lalu suami dan saya confirmed positive dan harus isoman. Padahal kami sudah sangat ketat menerapkan prokes. Other reason, meski nilai Day dan Dil tinggi, namun ada kekurangan dalam pola belajar mereka. Keduanya semakin tidak fokus (main game diam-diam di laptop dan jalan-jalan saat jam pelajaran) dan keduanya jadi kurang kompetitif. Efek dari sekolah online sih ini memang. Bukan sepenuhnya salah Day dan Dil. Sekolah online memakai laptop means that they are exposed and tempted easily to open their browser and access online games. Namanya juga anak laki. Duduk di depan laptop berjam-jam juga bukan nature-nya anak SD, apalagi untuk Dil yang kinestetik. Susah disuruh diem anteng! These factors are cause for concern not just for us as parents but also for their teachers. Yes, their teachers are worried too. Therefore we decided to send the boys to school. Tinggal Dza saja yang masih saya tahan-tahan untuk sekolah online di rumah karena dia yang paling kecil. Dipakein masker masih suka geser dan susah ngebenerin maskernya sendiri. Udah sekolah pakai rok panjang, jilbab syar’i, pakai masker… maskernya masih saya peniti pula karena sering melorot. Hiyaaaa kebayang ribetnya anak kelas 1 SD ini kalau harus benerin sendiri maskernya di sekolah.
Jumat ini kebetulan hari libur nasional. Kami memutuskan sudah saatnya Day dan Dil kembali ke masjid untuk melaksanakan sholat Jumat. Masjidpun sudah melepas larangan membawa anak-anak seperti saat awal pandemi dahulu.
Perdana sholat Jumat setelah 2 tahun vakum, suami dan anak-anak sholat Jumat bersama Bapak dan adik saya di masjid dekat rumah Bapak. Alhamdulillah! Jujur aja saya excited mau mengirimkan anak-anak sholat Jumat. Dari semalam sudah saya pilihkan besok mau pakai baju koko yang mana! Tak lupa for extra precaution, Day dan Dil saya pakaikan masker dobel: KF94 + masker kain, buat jaga-jaga kalau maskernya melorot atau kurang rapat. Iya, saya tahu kok jika KF94 itu sudah tak perlu didobel lagi dengan masker kain. Namanya juga jaga-jaga, toh anak-anak tidak keberatan dan sholat Jumat juga durasinya tidak terlalu lama.
Berhubung sholatnya di dekat rumah Bapak, maka saya dan Dza ngikut! Sudah lama saya tidak ketemu Ibu, untuk mengobrol dan ngajakin rebutan panci (hehehe… kalau saya pulang ke rumah, saya suka geratakin lemari Ibu nyari panci dan pecah belah yang nggak pernah dipakai. Ibu punya banyak masih baru aja gituuu belum pernah dipakai… daripada mubazir ‘kan!). Semenjak Februari lalu, Ibu belum pernah main ke rumah saya lagi. Kalau mampir di depan rumah sih sering, nge-drop makanan dll, tapi yang beneran masuk rumah dan spending hours di rumah tuh yang belum. Anak-anak sampai bolak-balik bertanya. Saya cuma bisa menjawab, “Iya, Nenek dan Kakek sibuk nak.”
Sibuk sendiri! Hehehe… Mungkin saat ini kedua orang tua saya merasa bebas ya, sudah tidak perlu mengurus anak-anak lagi, they have more time in their hands. Alhamdulillah masih diberi kesehatan dan energi juga. Seringnya, pagi-pagi saya ditelpon cuma sekadar mengabari, “Eh, Bapak sama Ibu mau ke sini dulu ya. Bla.. bla.. bla… Ini udah di jalan! Klik!” Telepon langsung diputus. Tahu-tahu beliau berdua sudah kirim foto ngafe pagi-pagi, di sebuah kafe baru bertempat di sebuah bangunan rumah Belanda, yang dulunya adalah rumah sepupu Bapak. Pernah, pagi-pagi juga, Ibu diantar oleh Bapak berkunjung ke teman lamanya yang sudah jadi juragan sembako. Alasannya mau beli beras. Hmmm… padahal mah ujungnya Ibu-Ibu mau ngerumpi! Hehehe… Suatu siang, Bapak saya heboh sendiri di grup WA, lalu tak lama kemudian mengirimkan foto-foto, ternyata beliau lagi reuni makan siang sama teman-teman kuliahnya! Lalu pernah juga, kedua ortu saya mengabari kalau mau ke dokter gigi. Lama tidak pulang-pulang, ternyata ya bener sih sih ke dokter gigi tapi setelah itu beliau berdua jalan-jalan entah ke manaaa…
Lama-lama lebih gaul ortu saya daripada anak-anaknya ini!
Nevertheless, saya turut bahagia dan bersyukur. Orang tua saya sudah tidak muda lagi tapi they are still finding ways to make themselves happy, active, and entertained. Adaaa aja kegiatannya yang dilakukan. Kalau nggak bikin kue atau berkebun di rumah, ya keluyuran berdua. Berantem-berantem kecil over mundane things, terus langsung baikan lagi ketawa-ketawa hehehe…
Balik lagi ke urusan Jumatan. Dza dan saya menunggu di rumah Bapak Ibu. Akhirnya saya punya kesempatan buat mengobrol sama Ibu. Just like the old days jaman saya masih belum menikah, mengobrol sambil cerewetin satu sama lain hehehe.. Biarpun sudah jadi istri dan Maminya anak-anak, but I always become a child again whenever I go home to see my parents. AIhamdulillah pulangnya dapat rejeki dibawain masakan dan aneka cemilan.
Alhamdulillah juga Day dan Dil semangat dan anteng mengikuti sholat Jumat untuk pertama kalinya ini. Ada kekhawatiran dalam diri saya, saking lamanya tidak jamaah di masjid, mereka bakal kegerahan dan tidak betah. Suami saya cerita kalau anak-anak anteng dan tidak rewel… meskipun sambil mengantuk dan hampir tertidur saat khotbah dan sujud terakhir! Hehehe…
Membiasakan anak-anak untuk ke masjid sejak kecil memang harus dilakukan. Apalagi jika punya anak laki-laki, yang nantinya akan jadi imam dan contoh di keluarganya. Dengan mengajak anak-anak, terutama Day dan Dil ke masjid dan sholat berjamaah harapan kami, anak-anak akan terbiasa dan tidak ogah-ogahan ketika nanti sudah dewasa.
All in all, I am very grateful, to be able to spend such a lovely weekend with my family. Alhamdulillah!
Mungkin jika dibandingkan dengan yang lain, long weekend saya ini biasa saja. Banyak yang menghabiskan long weekend ke luar kota atau ke tempat hiburan sedangkan saya “cuma” di rumah ortu dan Jumatan saja. Tidak apa-apa, karena ada bigger purpose di sini…
We wanted our kids to learn about simplicity, how to find joy in simple and ordinary things. Untuk menghibur diri, merasa senang, menghilangkan kebosanan, dan mengisi waktu tidak selalu harus identik dengan grand things seperti pergi berlibur, berbelanja mainan mahal, dan lain-lain. Ada values yang bisa diambil dari hal-hal kecil. Bersepeda bersama di kompleks Bapak Ibu sambil lihat angsa, ternyata sudah cukup bikin mereka ketawa-ketawa. Berkumpul dengan keluarga misalnya, menanamkan pada anak kedekatan dengan anggota keluarga dari beberapa generasi, membiasakan anak untuk hormat dan sopan, serta masih banyak lagi. The kids learn that berkumpul dengan keluarga itu fun and cool lho. They have cool uncle with lots of “toys” as well as grandparents who give them snacks, sweets, and keep up with their childish acts (regardless saya yang ngomel-ngomel di belakang… hehehe). Nggak kalah menyenangkannya dengan jalan-jalan keluar atau main sama teman. Semoga dengan begini, tertanam di memori mereka, “Keluarga itu yang seperti ini lho!” Biar kalau sudah remaja dan dewasa, tidak cuek-cuekkan sama keluarganya sendiri lalu menganggap teman-teman lebih seru daripada keluarga. So that when they have grown up, this value will be brought too within their new families.
Once I told my husband, dulu waktu kecil, saya dan adik (jika dibandingkan dengan sepupu yang lain) termasuk yang tidak frequently berkunjung dan berkumpul with our grandparents from both sides. Dari pihak keluarga Ibu, mayoritas tinggal serumah dengan Oma bertahun-tahun sebelum akhirnya keluar dan memiliki rumah masing-masing. Dari pihak keluarga Bapak, well, sepupu saya jauh lebih sering berkumpul dengan Eyang ketimbang saya. Malah mungkin hampir setiap hari, seingat saya karena kedua ortu mereka bekerja. Efeknya, my cousins have strong bonds with our Eyang, especially with Eyang Putri. Padahal sebagai salah satu cucu, nama saya tak henti-hentinya disebut alm. Eyang Putri dalam doa beliau. Hiks. I told my husband that I wanted our kids to be close with our parents. Supaya terbiasa dan bisa bonding. Saya juga ingin anak-anak terbiasa berkumpul bersama keluarga sejak kecil, having strong family values, sehingga nanti jika mereka beranjak remaja, they would have their feet firmly grounded on family, mengutamakan keluarga, terbuka untuk sharing, and they know that at the end of the day… family is where we go home to.
0 Comments