Menyekolahkan anak-anak di sekolah yang bagus, dengan fasilitas, materi, dan tenaga pengajar yang berkualitas bukan berarti satu tugas sebagai orang tua terselesaikan. Mendidik anak, goes way beyond school subjects. Terlebih adanya pandemi yang mengharuskan anak-anak sekolah online, jujur saja agak memperlambat progress mereka. Ketiga anak saya sama-sama berusia sekolah dasar. Jarak usia yang dekat membuat mereka selalu bermain bersama-sama. They are very close. Meski demikian, dengan komposisi 2 anak laki-laki yang lebih tua, dan seorang adik perempuan, there are rules and boundaries that they must recognize and be reminded for from time to time.
Day, Dil, dan Dza sebenarnya sudah pernah kami ajari dan juga memahami bahwa mereka berbeda jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Meski bersaudara dan dekat, ada hal-hal yang menjadi batasan interaksi di antara mereka. The do’s and don’ts: tidak menyentuh bagian tubuh yang privat meski konteksnya untuk bercanda, meminta ijin sebelum masuk ke kamar masing-masing, tidur serta mandi sendiri-sendiri, dan lain-lain. Tapi yaaa… namanya anak-anak, masih banyak lupanya! Nah, satu hal lain yang saya temukan juga, Day dan Dil, sebagai kakak kerap membujuk Dza untuk mengikuti keinginan mereka berdua dalam hal bermain. Sering saya lihat Dza kemudian menyendiri manyun di pojokan, tiba-tiba mengetuk kamar saya atau muter-muter sendiri di rumah. Ketika saya dekati dan tanya ada apa, Dza menjawab, “Mas lho maunya begini begini… padahal aku ‘kan tadinya sudah mikir mau menggambar aja begini begini (contohnya…). Huuuh jadi habis deh waktuku.”
“Kalo Dza nggak mau ngikutin maunya Mas, Dza kepingin main yang lain atau ngerjain hal lain ya nggak apa-apa. Make your own decision Dza. Boleh kok Mami nggak melarang,” jawab saya.
“Iya tapi Mas maksa. Terus pasang muka (memeragakan wajah memelas) atau Mas bilang nanti nggak mau main sama aku lagi,” sambung Dza sambil merajuk.
Memang sih, ini hal tipikal yang dilakukan oleh anak-anak. This is how they learn to communicate and negotiate kali ya. Namun di sisi lain, ada hal concerning yang saya lihat.
Pertama, Dza anak paling kecil. Wajar ya kecenderungannya jika anak paling kecil being bossed around by her older siblings. Ehm… dulu saya juga bossy begitu ke adik saya hehehe. Kedua, Dza anak perempuan yang memiliki kakak laki-laki. Harapan saya, Dza akan tumbuh menjadi anak perempuan yang mandiri dan berani namun tetap unggah-ungguh dan anggun. Kalau ingat wejangan almarhum Eyang Putri saya, “Jadi orang itu yang bersahaja.” Kekhawatiran saya jika terus menerus Dza terbiasa being bossed around by boys, atau kadang setengah diancam (yah ancaman level anak-anak lah… seperti: “Nanti aku nggak mau main lagi sama kamu lho!” tapi ‘kan tetap saja konotasinya ancaman) dan dia terpaksa menurut, unable to voice her opinion or decisions, ini bakal berkembang terus menjadi karakter. Karakter tidak baik untuk kakak-kakaknya yang laki-laki, maupun untuk Dza sebagai perempuan. Saya tidak ingin Dza tumbuh dengan mindset dan karakter bahwa seorang perempuan harus tunduk pada kemauan laki-laki, diam saja jika diancam, dan tidak bisa/berani mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Di sisi lain, saya ingin Day dan Dil dapat memperlakukan perempuan dengan baik. Tidak bersikap semau mereka terhadap perempuan terlebih jika mereka berada dalam posisi yang menguntungkan (misal: badan lebih besar, lebih kuat, lebih cerdas, dll). I want the boys to treat girls as how humans should be treated seperti yang diajarkan: saling menghargai dan menghormati, sopan, juga menolong jika ada yang kesusahan.
Saya ingin Day, Dil, dan Dza memahami bahwa tidak ada satu gender yang kedudukannya lebih tinggi daripada gender lainnya. Dulu, saya bekerja di industri yang mayoritas pekerjanya laki-laki. I was a minority in a man’s world. Saya mendengar dan menyaksikan sendiri bagaimana beberapa pekerja laki-laki mengobrol dan mengomentari sosok perempuan (bisa jadi sesama rekan kerja, atau cuma sekadar perempuan yang lagi lewat saja) dengan konotasi yang degrading. Ditambah lagi, melihat cara bergaul remaja saat ini (Hiks kerasa kalau saya udah bukan remaja lagi!) serta akses gadget dan media digital sekarang… well, mengajari dan mempersiapkan anak-anak sedini mungkin benar-benar harus dilakukan.
I approached the kids from two point of views. Sudut pandang pertama, ya dari norma sosial. Laki-laki maupun perempuan, adalah sama-sama manusia. Manusia lahir dilengkapi dengan hak dasar mereka yaitu Hak Asasi Manusia. Beberapa contoh dari Hak Asasi Manusia yaitu hak hidup, hak berpendapat, hak untuk merasa aman, dan lain-lain. Sudut pandang kedua, yaitu dari sudut pandang agama Islam. Laki-laki dan perempuan, keduanya adalah sama-sama makhluk ciptaan Allah. Keduanya sama-sama dilihat dari amalan, adab, iman, akhlak, dan ibadahnya. Dari dua sudut pandang ini bisa ditarik benang merah bahwa men and women are equals. Equals di sini saya maknai sebagai setara, tidak ada satu gender yang posisinya lebih tinggi/superior/baik daripada yang lain namun masing-masing gender memiliki peran dan fungsi yang bisa saja berbeda-beda di setiap situasi.
Dalam menjelaskan kedua sudut pandang ini tentunya saya bekali dengan dasar. Day, Dil, dan Dza anak-anak yang kritis, saat dijelaskan mengenai suatu konsep pasti mereka akan bertanya, “Kenapa?” alias mempertanyakan landasan konsep itu dari mana. Lanjutannya lagi, menjelaskan dasar konsep membuat anak jadi lebih paham, hubungan sebab dan akibat serta logika berpikir di balik konsep tersebut. Mereka pun akan terbiasa untuk reasoning dan tidak mengarang-ngarang sesuatu. Sudut pandang pertama tentang Hak Asasi Manusia tentunya berdasar dari Undang-Undang dan Universal Declaration of Human Rights. Sudut pandang kedua, jelas sumbernya dari Al-Quran. Saya mengutip beberapa ayat Al-Quran kemudian Day, Dil, dan Dza bergantian mencari ayat-ayat tersebut di Al-Quran mereka serta membacanya bersama-sama. Therefor, they saw it for themselves kalau dalil/landasannya memang ada dan Mami tidak mengarang-ngarang!
Laki-laki dan perempuan sebagai sesama makhluk Allah juga sama-sama memiliki aurat. Aurat adalah amanah dari Allah yang wajib dijaga kehormatan, kesucian, dan kebersihannya oleh laki-laki dan perempuan. Di sini saya menjelaskan dengan bahasa yang bisa Day, Dil, dan Dza pahami dengan mudah. Kehormatan di sini adalah memastikan bahwa aurat tertutup, tidak dapat dilihat oleh lawan jenis. Kesucian di sini berarti aurat masing-masing adalah ranah pribadi masing-masing. Selain tidak boleh dilihat orang lain yang bukan mahram, juga tidak boleh dipegang oleh siapa pun dengan alasan apapun (pengecualiannya di sini adalah Abi dan atau Mami serta kondisi medis). Last but not the least, kebersihan alias personal hygiene, di mana kita wajib menjaga aurat yang diamanahkan oleh Allah agar tetap bersih dengan mandi teratur dan bersih (nggak ngasal kena air… boys…), berwudhu dengan benar, dan lain-lain.
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui yang mereka perbuat (QS An-Nur 30).
Tidak ketinggalan tentunya landasan ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa urusan aurat adalah tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan. Seperti sebelumnya, anak-anak bergantian membaca ayat tersebut dari Al-Quran mereka. Saw it for themselves. Laki-laki agar menjaga pandangan dan memelihara kemaluan, serta perempuan agar menggunakan hijab. Di sini saya membahasakan pada Day, Dil, dan Dza bahwa pandangan mata adalah pemicu munculnya keinginan terhadap sesuatu. Saya sih memberi contoh paling relatable bagi mereka yaitu soal lapar mata sama makanan. Seringkali melihat banyaknya makanan yang disajikan, anak-anak langsung ingin ambil semuanya, padahal ujung-ujungnya kekenyangan karena sebenarnya tubuh tidak selapar itu! Menjaga kemaluan saya bahasakan sebagai hawa nafsu. Dari mata, muncul keinginan alias hawa nafsu. Jika kita menjaga pandangan, maka hawa nafsu kita otomatis akan terkendali pula.
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaknya mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS Al-Ahzab 59).
Untuk urusan berhijab sendiri alhamdulillah Dza sudah mau berkomitmen. Kala Dza akan masuk SD, saya sempat menyampaikan, “Dza, anak perempuan usia baligh-nya jauh lebih cepat dari anak laki-laki, di usia 9 tahun. Dza sekarang sudah SD, sebentar lagi mau masuk usia baligh… jadi setiap keluar rumah harus pakai jilbab ya… dan nanti kalau sudah usia baligh 9 tahun, Dza pergi juga pakai kaos kaki ya seperti Mami. Aurat perempuan ‘kan termasuk kaki juga.” Saya pun menyampaikan sedikit apa yang saya rasakan dan alami sebelum dan sesudah memakai hijab. Saya mulai pakai hijab setelah 1 tahun bekerja. Setelah berhijab, memang terasa perbedaan perlakuan, cara berbicara dan pandangan orang kepada saya. Apalagi saya bekerja di industri yang mayoritas pekerjanya laki-laki. Ada terasa perbedaannya. Saya tambahkan, bahwa hal ini baru akan Dza rasakan ketika Dza sudah mulai baligh, but there’s nothing wrong to start doing the right thing (wearing hijab) early.
Penting sekali bagi saya agar Day, Dil, dan Dza benar memahami tanggung jawab masalah aurat dan landasan ayatnya karena tahu sendiri ‘kan how our society treats women! Seringkali saya temui laki-laki menggoda perempuan yang sedang lewat dengan catcalling, padahal kenal juga tidak. Sudah kenal pun masih bisa memanggil atau bercanda dengan teman perempuan menggunakan kata-kata yang kurang pantas dan kurang menghormati. Belum lagi komen-komen seperti, “Bajunya (si perempuan) aja seperti itu, gimana nggak bikin pingin godain!” Komentar-komentar dan tindakan yang menempatkan perempuan sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas pikiran dan tindakan kurang baik dari laki-laki, serta pihak yang bersalah entah karena pakaiannya atau gerak-geriknya. Padahal mau perempuan pakai baju mini ataupun berhijab syar’i dan bercadar, jika laki-laki tidak menjaga pandangannya ya tetap saja!
Setelah memaparkan dua konsep dasar di atas mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan, masuklah saya ke pembahasan hak dan kewajiban. Kebetulan, tema hak dan kewajiban sendiri sedang menjadi pokok bahasan di buku Tematik Day dan Dil. Di samping itu, saya menyelipkan sedikit pemahaman mengenai makna peran dan kodrat. Secara pribadi, pemahaman peran dan kodrat ini seringkali membuat saya geregetan sendiri. Pernah dengar ‘kan, celetukan-celetukan kurang bertanggung jawab yang bunyinya, “Kodrat perempuan itu 3M: macak, masak, manak!” Saya ingin Day, Dil, dan Dza tumbuh dengan pemahaman yang benar, bukan pikiran salah kaprah seperti itu.
Peran, merupakan sesuatu yang disepakati bersama dan bisa berubah. Sebaliknya, kodrat adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan dan tidak bisa diubah. Contoh peran: ketika suami dan istri menikah (seperti Abi dan Mami!) keduanya mengatur peran yang akan dijalankan dalam pernikahan (iya, anak-anak saya udah paham kok). Sang suami akan bekerja di kantor, sedangkan istrinya bekerja dari rumah agar bisa mengurus rumah dan anak-anak. Hal ini tidak mutlak, karena bisa jadi, peran yang disepakati adalah suami dan istri sama-sama bekerja dan anak-anak dititipkan pada kakek neneknya. Atau bisa juga, sang istri bekerja di kantor sedangkan suaminya bekerja dari rumah sambil menjaga anak. Begitu pula dengan pekerjaan di dalam rumah tangga. Nah, saya bersyukur karena untuk urusan ini suami saya support sekali. Kami berbagi peran mengurus rumah. Suami saya mengerjakan urusan laundry and doing dishes ataupun lainnya di luar itu jika saya sedang kerepotan, lelah, atau mager hehehe… jadi ada contoh nyata yang anak-anak lihat di keseharian mereka. Day, Dil, dan Dza pun sudah dibiasakan untuk mengerjakan peran mereka di rumah seperti membersihkan kamar masing-masing ataupun menjemur pakaian. Sedikit banyak mereka paham mengenai peran sehingga tidak susah bagi saya untuk menjelaskan konteks dari kodrat. Kodrat di sini saya berikan contoh yang mudah mereka pahami seperti perempuan dapat haid, hamil, melahirkan hingga menyusui sedangkan laki-laki yang sudah baligh memiliki jakun dan suara yang lebih berat, dan lain-lain.
Satu hal tambahan lainnya yang kerap kali saya tekankan pada Day, Dil, dan Dza bahwa household chores bukanlah kodrat perempuan. Selain hal tersebut merupakan peran yang dikerjakan oleh anggota keluarga, household chores merupakan basic survival skills yang harus dimiliki setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah… those are the things that every human needs and should be able to be done independently!
Nah setelah sama-sama belajar mengenai konsep-konsep di atas, saatnya menguji apakah Day, Dil, dan Dza sudah paham apa yang saya sampaikan. Simpel aja sih caranya. Saya sudah menyiapkan bermacam-macam contoh perilaku sehari-hari, lalu saya minta mereka untuk mengelompokkan. Kelompoknya saya bagi menjadi enam, yaitu: hak, kewajiban, peran, kodrat, you can do, dan you can’t do. It was fun! Day, Dil, dan Dza memang paling suka kalau dikasih “tes” yang bentuknya permainan atau kuis hehehe.
Dari hasil permainan ini, saya melihat Day, Dil, dan Dza sudah cukup paham konsep yang saya sampaikan. Tentunya dalam keseharian hal ini juga akan mereka jalankan dan tetap belajar dong! Learn by doing! Semoga Day, Dil, dan Dza bisa menjadi orang-orang yang respectful dan mindful of others, bertanggung jawab, dan kelak bisa bring changes to their society.
0 Comments