Juni 2020 yang lalu, si bungsu Dza lulus TK.Â
Kelulusan Dza diwarnai latar belakang kisah yang cukup unik. Sekitar minggu kedua-ketiga Februari 2020, Dza sakit batuk pilek yang lumayan berat (begitu pula saya) hingga harus tidak masuk sekolah sekitar satu minggu. Hari pertama Dza kembali ke sekolah, ada agenda karyawisata ke daerah Masjid Agung Surabaya. Mungkin karena kecapekan, esok harinya Dza panas dan kembali tidak masuk sekolah sekitar satu minggu. Memasuki awal Maret, muncul berita bahwa kasus Covid-19 terjadi di Indonesia. Tidak lama kemudian siswa-siswa sekolah diminta untuk belajar di rumah saja alias School From Home. Dza yang tadinya sudah mau kembali masuk sekolah jadi urung. “Libur” ekstra panjang deh!
Menjelang penerimaan rapor dan wisuda kelulusan, pihak sekolah mengkonfirmasi satu per satu orang tua murid: apakah siswa bersangkutan bisa datang ke sekolah untuk latihan tampil dan juga hadir di saat wisuda kelulusan? Saya bilang tidak bisa.
Bulan-bulan awal terjadinya pandemi ini jujur membuat saya stress, sebagai orang tua dan sebagai human being. Belum tau informasi yang jelas mengenai si virus yang menimbulkan masalah ini, belum tau cara merumuskan protokol yang tepat buat penghuni rumah baik di rumah maupun jika harus beraktivitas di luar rumah, belum lagi segudang kekhawatiran lainnya: tentang si Bibi yang pulang-pergi, saudara yang berkunjung ke rumah, suami yang ngantor setiap hari bersama karyawan yang yahhh saya nggak tahu standar penerapan protokol masing-masing individunya seperti apa, juga kekhawatiran terhadap anak-anak saya. Anak-anak saya masih berusia TK dan SD, mereka masih dalam tahap belajar untuk membangun kebiasaan-kebiasaan yang baik, termasuk disiplin menjaga kebersihan dan kesehatan. Sharing dan tanya sama sepupu-sepupu yang sudah berkeluarga dan tergolong “cermat” via WA juga saya lakukan. Sampai pernah pada suatu malam saya nangis saking bingungnya.
Saat hari wisuda, suami datang ke sekolah Dza untuk ambil ijazah kelulusan, piala hasil lomba, dan karya kolase Dza yang sudah di-frame sebagai kenang-kenangan. Kata suami saya, teman-teman sekolah Dza datang menghadiri acara wisuda dan cuma Dza aja yang nggak hadir. Terus saya tanya, “Pakai masker nggak anak-anak?” Jawab suami, “Pakai sihh.. tapi waktu foto bersama maskernya dilepas hehehe.” Terus enggak berapa lama saya lihat foto-foto wisuda yang di-share via grup WA, ya bener sih, anak-anak berfoto bersama menggunakan toga wisuda dan tentunya nggak pakai masker supaya wajahnya kelihatan.
Kebetulan di rumah ada topi wisuda kuliah almarhum Ibunya Dza. Nah, supaya momentumnya nggak terlewat, Dza saya pakein jilbab sama rok putih, terus disalamin deh sama Abi dan Mami sambil dipindah tali topinya a la wisudaan. Nggak ketinggalan Dza berfoto pakai topi wisuda, sambil bawa piala dan ijazahnya. Anaknya sumringah! Hehehe.
Tahap berikutnya adalah memasukkan Dza ke SD. Sebenarnya Dza sudah didaftarkan di sekolah yang sama dengan Day dan Dil. Urusan administrasi pun sudah beres, tinggal ambil buku dan masuk sekolah. Tapiiii… I have my concerns.
Â
Pertama, usia Dza masih 5 tahun. Lebih beberapa bulan siiih tapi tetap aja, masih 5 tahun alias masih usia TK. Saya sendiri lahir di kuartal akhir, dulu saat mau masuk SD, usia saya masih 6 tahun dan oleh Bapak diputuskan saya mengulang TK B lagi supaya nanti masuk SD bisa tepat 7 tahun. Berdasarkan pengalaman saya, mundur masuk SD selama 1 tahun nggak jadi masalah. Saya bisa keep up secara sosial alias bisa membangun pertemanan dengan baik, bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan rapor saya berkisar di ranking 1-2 selama sekolah SD.
Usia 5 tahun menurut saya masih terlalu muda untuk menerima materi dan demand pembelajaran di SD. Usia segini ‘kan masih usia-usia “bermain sambil belajar”. Attention span juga masih rendah, nggak bisa diminta duduk belajar lama-lama. Kalau dulu kelas 1 SD buku pelajaran saya isinya masih belajar membaca Ini Budi, Ini Ibu Budi… nah ini, saya baca-baca buku Tematik kelas 1 SD lungsuran Day-Dil, bacaannya aja udah panjang. Nggak sekadar 2-3 suku kata aja. Dza sendiri pada saat itu masih terbata-bata dalam membaca. Masih kesulitan jika bertemu dengan kombinasi huruf-huruf “ny”, “ng”, “ai”, “au”, dan semacamnya. Masih takut-takut juga kalo diajak baca buku cerita, banyakan lari kabur atau asyik sendiri lihat gambar-gambar di bukunya. Ujung-ujungnya kita berantem, deh!
Dari sebuah artikel yang saya baca di Mommies Daily, usia 4-5 tahun adalah masa di mana anak belajar pre-reading skills: mengenal serta menulis huruf dan angka, dan mengeja suku kata. Pusat baca yang terletak di otak kiri, baru akan berkembang di usia 7-9 tahun, meski pada anak perempuan biasanya terjadi lebih cepat. Nah, pusat baca inilah yang membantu menunjang anak untuk fasih membaca, terutama secara fonik.
“…fonik berhubungan dengan suara atau bunyi yang mewakili huruf (a, b, c, dst.) dan kombinasi huruf (ng, pl, kr, dst ..) dalam alfabet. Fonik membantu balita membaca dengan cara mengembangkan kemampuan untuk mengenal huruf, mengenal suara, dan membuat hubungan antara keduanya.” (Orami.co.id)
Jadi ya wajar saja jika saat itu Dza masih belum lancar membaca. Meskipun secara historis, kedua kakaknya sudah lancar membaca di usia 5 tahun. Saya pun dulu di usia 5 tahun sudah lancar membaca. Saya ingin Dza memperlancar kemampuan membacanya dengan santai, bukan dengan dikejar-kejar deadline tugas sekolah dan jadwal sekolah online.
Kemampuan motorik anak usia 5 tahun sendiri berada dalam tahap yang pesat. Usia Dza saat ini adalah waktunya dia banyak bermain dan bergerak fisik untuk mengasah perkembangan motoriknya: berjalan, melompat, melempar, menggunting, menempel, berlari serta mengasah kreativitasnya: menggambar, menyanyi, bercerita, dll. Biar Dza bersenang-senang dulu dengan beragam kegiatan fisik dan kreativitas yang menyenangkan. Biar Dza puas dan tidak kehilangan masa-masa bermainnya sebelum nanti serius belajar di SD.
Jika Dza resmi masuk sekolah SD, berarti Dza harus bisa mengikuti sistem pembelajaran online dari sekolah dan memenuhi segala deadline tugas-tugas yang diberikan gurunya. Melihat situasi yang ada di rumah sekarang, saya worry jika kami berempat stress sendiri. Yup, kami berempat as in: Day, Dil, Dza, dan saya! Day dan Dil masih beradaptasi dengan cara belajar yang baru, yaitu online, harus duduk di depan laptop dan video call berjam-jam. Dil yang merupakan kinesthetic learner suka jalan-jalan saat jam belajar dan terkadang cranky sendiri karena bosan. Di sisi lain, Day dengan rasa ingin tahunya yang besar kerap kedapatan nyolong-nyolong browsing dan buka Youtube saat jam pelajaran. Yup, policy mengenai nonton Youtube pada saat itu belum kami update sehingga anak-anak masih punya akses terhadap Youtube.
If I had to police these boys whenever they study online, I wouldn’t have the time and energy to help Dza with her study. Bayangin, all of this will be an entirely new experience for Dza! Dza akan masuk sekolah yang baru, dengan metode belajar yang dia sama sekali belum kenal (belajar di SD dan online pakai komputer when she still unable to read fluently and operate a computer!) dan tentunya saya harus stand by di sampingnya all the time. Melihat proses adaptasi Day dan Dil sekarang yang cukup menguras emosi dan tenaga, kalo harus menambah satu anak lagi yang di-handle… I don’t think I could muster enough strength to do so.
Pertimbangan lainnya, saya berkaca dari pengalaman SFH Day dan Dil di semester lalu. Tugas-tugas sekolah diberikan via grup WA kelas setiap harinya. Ada tugas tertulis, prakarya, ataupun video yang dokumentasinya wajib dikumpulkan via WA. Setiap beberapa minggu sekali ada evaluasi materi berupa test via Google Form yang diisi dan di-submit oleh siswa. Nggak ada tatap muka via video call. Materi pelajaran sepenuhnya dijelaskan oleh ortu di rumah. Sebenarnya bisa jadi karena ini adalah sistem pembelajaran yang dibuat mendadak. Bisa bayangkan, perangkat sekolah yang sudah merancang sistem pengajaran tatap muka untuk setahun ke depan tiba-tiba harus berganti cara belajar dalam semalam. Solusi paling cepat dan tepat kala itu ya dengan tugas via WA grup ini. Mungkin di tahun ajaran yang akan datang, tata cara belajar online anak-anak akan jauh lebih baik karena tentunya sekolah sudah merancang sistem pengajaran yang benar-benar sesuai dengan kondisi, begitu pikir saya kala itu. Seperti apa regulasinya, ya baru akan ketahuan nanti saat tahun ajaran baru mulai, and I don’t want to gamble on that. Hal lain terkait regulasi yang menjadi concern adalah keputusan pemerintah. Di mata saya (mohon maaf sebelumnya) kadang-kadang pembuat kebijakan membuat keputusan yang absurd dan nggak match sama kondisi di lapangan. Khawatir saya, Covid-19 lagi hot-hotnya, tiba-tiba anak-anak diminta untuk masuk sekolah. Oh no! Ketemu saudara sendiri aja saya khawatir, lha ini ketemu teman-teman dan warga sekolah yang nggak tau juga ‘kan kondisinya seperti apa. Dengan menunda Dza masuk sekolah, at least I am buying some time… sambil memonitor perkembangan: regulasi pemerintah, kebijakan sekolah, serta penerapan protokol kebersihan dan kesehatan di sekolahnya.
Nah, mata pelajaran untuk anak kelas 1 SD sendiri ‘kan masih sangat basic, berbeda dengan Day dan Dil yang sudah menengah tingkatannya. Matematikanya sudah mulai rumit, sudah ada pelajaran IPA IPS, serta tugas-tugasnya banyak membutuhkan diskusi dan analisa. Anak kelas 1 SD, masih belajar 3 mata pelajaran mendasar: CALISTUNG alias membaca, menulis, berhitung. Yaaa kalo cuma begitu aja nggak usah repot-repot sekolah online, diajarin di rumah sama saya sendiri aja juga bisa. Malah menurut saya lebih baik karena saya bisa mengukur tingkat engagement Dza terhadap materi yang diajarkan, bisa banyak waktu bonding berdua, and I can shape her the way I want and I see it fit. Nggak melulu ikutin pakemnya sekolah. Apa yang saya ajarkan bisa saya sesuaikan dengan kemampuan dan juga mood Dza saat itu. Di samping itu, saya juga bisa bikin kurikulum a la saya sendiri, nggak cuma belajar hard skill, tapi juga ajarin Dza soft skill untuk mengembangkan karakternya, seperti: belajar empati dan tolong-menolong, toleransi, belajar bersih-bersih sendiri, belajar mengerjakan household chores sendiri seperti menyapu, mengepel, mencuci, menata piring dan gelas, dll.
Saya juga kurang sreg jika di usia Dza yang masih 5 tahun ini, dirinya harus berinteraksi rutin dengan durasi yang cukup lama (minimal 2 jam) dengan komputer. Wong durasi nonton TV aja dibatasi cuma 1 jam kalo weekdays. Molor sampai 2 jam itu udah super sekali buat saya. Pegang dan main HP pun anak-anak dilarang. Suami dan saya sepakat untuk limiting screen time for the kids and raise them without electronic gadgets and social media as part of their activities. Selain akses komputer untuk keperluan sekolah, anak-anak diperkenankan nonton TV saat weekdays selama 1 jam. Selebihnya ngapain? Bermain bersama, membaca, lari-lari, sepedaan, dan tentunya mengaji. Saat weekend, anak-anak bebas bermain Nintendo Wii dan nonton TV khusus channel anak-anak. Youtube? Sudah di-block dari browser dan digembok di Smart TV wkwkwkwk. Ehmmm sekalian pengumuman nih barangkali ada keluarga yang main ke rumah, please no more kasih pinjam gadget ke Day, Dil, Dza. Hehehe.
Dza, dan juga Day-Dil berada pada usia di mana mereka harus banyak bergerak. More screen time means less physical activities. Yang namanya lihat layar, itu menghipnotis. Asyik terpana sendiri melihat tampilan layar sehingga lupa waktu, lupa bergerak, susah fokus dan nggak sabaran, serta yang paling buruk, lupa sekeliling. Kepekaan terhadap sekitar berkurang: nggak sadar jika orang tua sedang mengajak berbicara, ada Uti lewat nyapu-nyapu tapi cuek bebek, dll. Padahal yang namanya kepekaan itu sangat diperlukan dalam berinteraksi sosial di tengah masyarakat nantinya. Sebuah studi menunjukkan bahwa too much screen time beresiko menurunkan perkembangan otak anak, sehingga menurunkan kemampuan komunikasi, bahasa, dan kognitif anak. (Sumber artikel di sini dan di sini).
On a side note, my kids are going to a private school that costs a lot. Lha kalo cuma calistung aja, harus mengeluarkan biaya sebesar itu kok sayang ya. Menurut saya, di situasi yang tidak menentu saat ini, jika memang bisa melakukan penghematan, ya nggak ada salahnya. Sambil menyelam minum air gitu lho. Toh belajar di rumah sama saya tidak mengurangi kualitas pembelajarannya, malah menurut saya better karena I do have a stake on her study, nggak mau sampai failed hasilnya. Remember, Mami is a high achiever and competitive person! Hihihi…
Mengambil keputusan untuk akhirnya menunda Dza masuk SD, berlandaskan pertimbangan-pertimbangan di atas nggak terjadi dalam semalam kok. Banyak diskusi yang terjadi antara suami dan saya. Suami saya punya banyak pertimbangan dan pemikiran. Saya pun nggak kalah nge-push.  Hehehe. Alhamdulillah, pihak sekolah juga cukup fleksibel, mengijinkan ortu untuk mengambil keputusan demikian.
“It is a mark of an educated mind to be able to entertain a thought without accepting it.”- Aristotle.
Mungkin ini keputusan yang tidak umum, mungkin juga banyak ortu lainnya yang mengambil keputusan serupa, but as parents, we want what’s best for our kids. Bagi kami berdua, gap year bagi Dza adalah keputusan yang paling baik dalam situasi saat ini. Kami berbicara baik-baik dengan Dza, awalnya sempat kaget, tapi kemudian Dza memahami maksud dan tujuan kami, apa manfaatnya untuk Dza. And she’s embracing it.
Dza adalah anak yang cerdas, rasa ingin tahu dan semangat belajarnya juga tinggi. Kalau urusan moody ya sudah namanya anak-anak, belum bisa ‘kan diminta bersikap layaknya orang dewasa. Itulah gunanya belajar bertahap. The silver lining is, this gap year will work as a preparation year for her. Mempersiapkan Dza dengan penguasaan materi-materi kelas 1 SD, sans the pressure. Secara psikologis pun Dza dipersiapkan dengan memiliki cukup waktu untuk bermain sambil belajar serta setiap hari melihat bahkan kadang-kadang nimbrung kala kakak-kakaknya sekolah online. She knows what to expect when she actually has her own online classes.
Nanti kalo sudah betulan masuk SD, Dza sudah tinggal jalan aja… sudah paham materinya, sudah tau harus ngapain, (semoga) bisa jadi yang terbaik daaaan lumayan kalo bisa lompat kelas!
One can only hope!
0 Comments
Trackbacks/Pingbacks